Sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa tidak lepas dari kisah sembilan wali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Walisanga). Sembilan wali itu adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajad, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Abad ke-14 merupakan masa berakhirnya Hindu-Budha dalam budaya Nusantara dan kemudian digantikan oleh kebudayaan Islam.
Pada saat itu Walisongo menjadi simbol penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Mereka mempunyai peran yang besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa.
Dilihat dari asal katanya, Walisongo berasal dari dua kata, yaitu wali yang berasal dari bahasa Arab waliyullah yang berarti orang yang mencintai dan sekaligus dicintai Allah SWT, dan kata sanga yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. (Sofwan, 2004:7). Sehingga, Walisongo adalah sembilan orang utama yang dicintai oleh Allah SWT., yang dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh yang berdakwah menyebarkan Islam pada dekade awal di Jawa.
Nama seorang wali biasanya digelari dengan sebutan Sunan. Istilah kata sunan berasal dari bahasa Cina suhu-nan yang berarti ‘guru atau pujangga’, atau dari bahasa Jawa suhun/susuhunan yang berarti ‘sangat hormat atau sangat dihormati’. Wali Songo itu manusia juga. manusia Nusantara asli. Siapa bilang kalau sudah punya posisi waliyullah, apalagi sekelas wali quthb, dunia akan mudah digenggam dan mulus dilalui.
Adalah Kanjeng Sunan Giri disuruh gurunya, Kanjeng Sunan Ampel, mencari ilmu ke Malaka di bawah asuhan ayahnya sendiri, Syekh Maulana Ishaq, meski belum tahu kalau beliau ayahnya sendiri.
Bersama Sunan Bonang muda, Sunan Giri naik kapal ibu angkatnya, Nyai Gede Pinatih, menyusuri laut Nusantara dari Gresik ke Malaka. Perjalanan sekitar 15 hari, Sunan Giri dan Sunan Bonang harus diuji bagaimana rasanya hidup di dunia maritim Nusantara: merasakan ganasnya laut perairan Jawa dan Sumatera, hantaman ombak yang tinggi, hingga bisa membuat kapal pecah berantakan.
Naskah Babad Gresik (PB A 116 MSB, hal. 18) menceritakan hal itu dengan detil bagaimana perjalanan kedua kader Wali Songo ini: mabuk laut, kapal oleng karena hantaman ombak besar, berhari-hari mereka sempat juga ketakutan, hingga akhirnya tawakkal dan pasrah lalu berdoa kepada Allah SWT agar dimudahkan perjalanannya hingga kota tujuan.
Mereka berdua toh yang akhirnya bisa selamat, dan berguru pada Syekh Maulana Ishaq, guru besar dan imam besar Masjid Agung Kota Malaka di abad 15. Mereka memang merasakan pahitnya pengalaman hidup di laut: tapi menjadi Waliyullah itu ya syaratnya memang harus diuji di dunia maritim Nusantara ini. Lalu dari sana setelah dewasa menjadi pembela negeri Nusantara ini juga (angajawi).
Dan tidak ada ceritanya dalam naskah-naskah Wali Songo bahwa menjadi waliyullah itu cukup nikmati gelar kesaktian bisa terbang di atas laut, lalu dalam sekejap sudah tiba di tempat tujuan. Wallahu a’lam bishowab.
Lahumul Fatihah …