SETELAH DARMOGANDHUL. LALU, APA LAGI?
Oleh: Ahmad Baso
Sejauh-jauhnya para Wali dan murid-muridnya memiliki karomah dan percaya adanya keramat Wali, seumur-umur tidak pernah percaya pada jin-jin, apalagi menimba ilmu dan sejarah dari jin-jin dan roh-roh-roh halus sekalipun.
Tetapi mengapa ada orang yang ngaku liberal dan pewaris rasionalisme dan pencerahan Eropa, katanya, malah lebih percaya dukun-dukun kampung yang mendatangkan jin-jin dan roh-roh halus untuk berceritera tentang sejarah Jawa, khususnya periode transisi dari Majapahit ke Demak, dan malas ngaji naskah-naskah Jawa-Bali dari abad 16-17?
Lebih parah lagi, dukun-dukun yang disuruh bawa jin-jin dan setan itu pada tahun 1832 disuruh bercerita lalu dituliskan menjadi naskah-naskah bernama Babad Kedhiri, lalu Darmogandhul, lalu Gatholoco, lalu dibaptis oleh para agen-agen Kompeni dan londo ireng itu sebagai yang terpercaya berbicara sejarah? Cerita fiktif kisah-kisah Sabdapalon, Nayagenggong hingga Butalocaya lebih dipercaya dari cerita Brawijaya dan Raden Patah dalam naskah naskah Jawa-Bali abad 16-17.

Foto: Naskah Darmogandhul koleksi Solo dan Babad Kedhiri cetakan edisi van den Broek tahun 1902
Siapa yang waras sebenarnya? Mengapa demikian tega mengorbankan akal sehat dan percaya roh halus dan tipuan setan setan para dukun itu?
Ya, karena nafsu syahwat duniawi dan keserakahan akan kuasa dan materi. Soalnya banyak aktor perlawanan terhadap Kompeni adalah kader santri-santri Nusantara dari warisan Wali Songo. Kompeni sebagai garong ingin berkuasa trus dengan keserakahannya sekaligus juga mau dicintai rakyat Jawa.
Maka disebarkanlah cerita-cerita mitos dan hoax seperti dalam Serat Darmogandhul. Musuh orang Jawa, kata-kata hoax itu, adalah bukan Kompeni, tapi orang orang Arab dari pesisir utara!
Para Wali Songo digambarkan dengan cerita-cerita cabul porno, haus kekuasaan dan diejek-caci maki orang Jawa sendiri. Raja Demak haus darah, Sunan Giri serakah dan tukang jagal. Sunan Kudus tukang fatwa pembunuh yang bengis. Buta Lohcaya sebagai garong Kompeni lebih bijak dari Sunan Bonang dst.
Ternyata kampanye Kompeni ini efektif, lha wong cerita-cerieta mitos dibungkus dalam cerita babad dalam tulisan hanacaraka dalam bentuk tembang macapat didendangkan para dalang tiap malam di desa desa, ya pasti percayalah orang Jawa sendiri.
Sumber-sumber primer yang dulunya mereka baca mulai diragukan kredibilitasnya. Kaum elitnya mulai bicara Jawa versus Islam, agama asli versus agama pendatang, massa akar rumput digiring pada ideologisasi “Javaisme” lalu diterjemahkan menjadi Kejawen bukan Angajawi model Wali Songo. Begitulah cara Kompeni divide et impera, mengadu domba orang Jawa dan kaum santri pendukung Diponegoro dan Kiai Mojo.
Berikut perbedaan sanadnya antara Islam Nusantara dan sanad londo ireng Darmogandhul itu:
Sanad Wali Songo
Kangjeng Sunan Ampel
Wali Songo
NU & Muhammadiyah
Islam Nusantara Berkemajuan
Sanad Kompeni-kapitalis
jin-jin dan setan para dukun
Babad Kadhiri
Serat Darmogandhul
geng liberal-londo ireng Jakarta
foto: naskah Darmogandhul koleksi Solo dan Babad Kedhiri cetakan edisi van den Broek tahun 1902