“Di Prambanan, kami bertemu dengan beberapa pangeran Solo. Mereka membukakan jalan dan menyediakan kuda bagi kami untuk untuk melihat seribu candi yang letaknya 2 mil dari jalan besar. Waktu kami sampai pada kaki candi besar, kami menaikinya dengan menggunakan tangga yang sempit sekali.
Di tempat masuk kelihatan dua arca raksasa berupa pengawal yang besar sekali, sepertinya dipahat dari satu batu, dan masih dalam keadaan baik sekali. Kami naik sampai pada tingkat kedua dan kami mengelilinginya.
Bukan tanpa kesulitan, karena jalannya terhalang batu-batu reruntuhan. Tapi ditempat lain dapat mengagumi pahatan-pahatan berelief yang menghiasi dinding-dinding, dan relung-relung yang ditempati segala macam arca Buddha atau berhala.
Keseluruhannya dibangun dari potongan batu-batu yang disusun yang merekat erat tanpa menggunakan semen. Nama yang diberikan kepada bangunan itu adalah “Seribu Candi” karena ada dua deretan penuh kubah atau menara kecil yang menempatkan berjarak mengelilingi candi besar, dan masing-masing pernah berisi arca.
Candinya, meskipun mempunyai persamaan dengan Borubudur, tidak sebagus itu keadaannya. Bangunannya banyak menderita karena perang. Beberapa benteng di Jawa dibangun menggunakan batu-batu yang di ambil dari bangunan tersebut, dan arca-arcanya telah di angkut oleh peminat barang antik.”
-Mrs. Baron, 1934-
(dihimpun dari berbagai sumber )