Papat kiblat limo pancer atau sedulur papat limo pancer merupakan kalimat yang melekat pada pribadi orang Jawa. Penjabarannya luas, seluas pemahaman yang didapat dari buah pikiran manusia yang berasal dari satu pohon empat cabang.
Namun secara umum ini merupakan pemilahan 4 kondisi pikiran batin manusia yang harus diikat dan dikendalikan oleh “rasa sejati” sejatine rasa.Kondisi mental itu disebut pula nafsu: amarah, lapar, keserakahan, birahi dan perbuatan baik.
Dalam pemahaman Jawa. Ke-empatnya harus dikontrol karena apabila tidak dapat berbahaya, karena sifat 4 jenis nafsu ini yang tidak pernah dapat terpuaskan.
Pancer atau pusat dari ke-empatnya-lah yang disebut rasa sejati yang menjadi pengontrol. Ibarat kereta pancer ini merupakan kusir. Dalam lukisan-lukisan klasik Jawa digambarkan sangat apik dengan Krisna yang mengendalikan kereta dengan empat kuda.
Bagaimana dengan Borobudur?
Hampir mirip, penyebutannya saja mungkin berbeda. Bila Borobudur terdapat lima Arca Buddha yang mempresentasikan macam jenis sifat ini. Aksobhya: Timur, Ratnasambhava: Selatan, Amitabha: Barat, Amoghasiddhi: Utara, dan ke empat buddha ini terkait dan terhubung dengan Vairocana yang berada di Tengah. Yang mana dalam formasi ini disebut sebagai Panca Jnana Tathagatha.
Apa hubungannya dengan Papat Kiblat Limo Pancer?
Aksobhya adalah representasi dari kondisi batin yang telah menundukkan kemarahan yang di ubah menjadi Kebijaksanaan “sempurna”. Ratnasambhava representasi dari kondisi batin yang telah menundukkan kesombongan menjadi kesadaran akan kesetaraan.
Amitabha representasi dari kondisi batin akan keterikatan akan keinginan (memiliki/keserakahan) menjadi welas asih dan cinta katresnan. Kemudian Amoghasiddhi representasi akan kecemburuan menjadi tujuan akan apa yang dilakukan sejatinya tak lain demi kesejahteraan mahkluk lain.
Ke-empat macam kondisi batin yang telah mengubah segala kekotoran pikiran menjadi kebajikan murni ini tak akan dapat dicapai bila kesemuanya tidak terhubung dengan Vairocana yang ditengah.
Vairocana yang merupakan representasi dari akhir yang ke-empatnya merupakan salah pengertian yang kemudian dipilah, diselami, dipertbangkan dan direnungkan yang pada kahirnya dapat merubah ke-empatnya menjadi kebijaksanaan murni dan oleh karena itu Vairocana pada awal tingkat pertemuan empat arah mata angin (arca Buddha) digambarkan dengan Vitarka mudra.
Vairocana sebagai kusir yang di tengah (pancer/rasa sejati) empat Buddha sebagai kuda yang harus senantiasa di awasi hingga kita menemukan kebijaksanaan murni.
Dalam pemahaman Jawa empat nafsu ini sejak semula ada, tanpa awal dan tanpa akhir, oleh karena itu diibaratkan sedulur papat (kakang kawah: ketuban, adi ari-ari: placenta, getih: darah dan puser: tali placenta).
Tidak bisa dilenyapkan, terpuaskan (simbol kuda yang tidak kenal rasa lelah dan terus berlari) karena sifatnya yang abadi namun bisa “ditundukkan” asal memahami dan memilah dari mana, apa sebabnya, karena apa dan bagaimana menyikapinya (Vairocana: Rasa Sejati) dan kita akan siap melewati jalan Sangkan Paraning Dumadi (Vairocana dharmacakramudra) dan menuju Manunggal Kawula Kelawan Gusti (stupa Dharmakaya: Induk)
Saya tidak ingin mengatakan bila Papat Kiblat Limo Pancer dari Ajaran Buddhis, tidak. Karena dlm tradisi muslim, kristen, hindu yang berada di Jawa memahami pula hal ini.
Namun kembali pada keterangan sebelumnya, dimana masyarakat Jawa cenderung mengolah segala kepercayaan yang masuk untuk dimasak sebagai konsumsi yang cocok dalam hidup sehari-hari.
Atau bisa saja sebaliknya, kearifan Jawa yang kemudian di-isme-kan oleh pemeluknya. Dalam hal ini masih pada tahap pencarian yang tentunya masih membutuhkan referensi rujukan rujukan yang lain.
“Dibalik tumpukan batu, mencoba memahami tentangmu.”