Sayyid Abdullah Quthbuddin: Guru Jaka Tingkir
Wonosobo pada masa lalu adalah hutan belantara yang merupakan daerah selatan Jawa Tengah yang ketika itu masih dihuni oleh pemeluk agama Hindu dan Budha.
Pada sekitar abad 17 M datanglah seorang tokoh pembawa aliran tarekat yang berasal dari Iran. Beliau adalah Abdullah Bin Muhammad Bin Yahya. Beliau adalah putra kedua dari Habib Muhammad Bin Toha. Orang tua dan kakek beliau sangat alim dalam bidang tafsir maupun hadits, sehingga manakala menafsirkan ayat Al-Qur’an penjelasannya sangat lengkap, yakni disertai Hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut serta penjelasan para Imam Mazhab dalam pengambilan dasar hukumnya.
Berkat para sesepuhnya itulah Sayyid Abdullah kemudian meneladani dalam menyampaikan ajaran Islam dan lelaku uripnya. Beliau kemudian mendapat gelar Quthbuddin atau masyarakat mengenalnya dengan Sayyid Abdullah Quthbuddin.
Dalam buku dengan judul Diaspora islam Damai, Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam Serta Sejarah Berdirinya Masjid Al-Manshur Wonosobo oleh Ahmad Muzan menyebutkan bahwa, jika dirunut dari silsilah beliau mempunyai hubungan darah dengan Habib Hasan Bin Toha yang lebih dikenal dengan nama Syekh Kramat Jati.
Dalam pengembaraannya, setelah mempunyai kematangan ilmu agama Islam yang didapat dari orang tuanya dan guru-gurunya, Sayyid Abdullah Quthbuddin memilih suatu daerah perbukitan yang masih menyimpan kekayaan alam yang indah yaitu Desa Candirejo. Beliau memutuskan untuk menetap dan mendirikan sebuah pondok pesantren dan masjid.
Seusai pembangunan pondok dan masjid, Sayyid Abdullah Quthbuddin mulai menarik simpati penduduk dengan kesantunan dan kelembutan dalam menyampaikan ajaran Islam, yakni dengan pendekatan budaya masyarakat setempat. Lama-kelamaan masyarakat tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Sayyid Abdullah Quthbuddin, sehingga penduduk yang banyak berdatangan kepondok untuk sinau bareng tentang agama.
Kala itu Desa Candirejo adalah desa yang sangat subur, penduduknya makmur-makmur. Suatu ketika kepulan asap hitam menggelembung di langit. Semerbak bau kemenyan pun menyeruak. Tampak seseorang sedang berkomat-kamit memanjakan mantra menghadap pohon beringin tua. Sayyid Abdullah Quthbuddin melihat hal tersebut, namun beliau tidak langsung serta-merta menegurnya.
Dengan kelembutan hati beliau menyapa,”Sampeyan sedang apa?”
“Aku sedang meminta kemakmuran dan keselamatan”, jawab si pengobong menyan.
“Sesungguhnya perbuatan sampeyan memang benar, namun seyogyanya meminta keselamatan dan kemakmuran itu hanya kepada Allah SWT.” Jawab Sayyid Abdullah Quthbuddin.
“Apakah yang saya lakukan ini salah?” tanya pengobong kemenyan sembari menunjukkan obongan menyannya.
“Yang sampeyan lakukan tidak salah, kemenyan itu salah satu jenis tanaman ciptaan Tuhan. Membakar kemenyan itu boleh, sebab asap yang dihasilkan dari kemenyan itu sebagai wasilah kita berdoa dan mendekat kepada sang Maha Pencipta, Dzat yang dapat memberikan keselamatan kemakmuran. Dialah yang yang menjamin hidup kita di dunia hingga akhirat. Maka mintalah keselamatan dan kemakmuran hanya kepada-Nya.” Jelas Sayyid Abdullah Quthbuddin dengan senyum simpulnya.
Sementara itu, ketika kerajaan Demak sedang bergolak akibat politik, Jaka Tingkir atau yang lebih dikenal dengan Sultan Hadiwijaya diutus oleh Ki Ganjur untuk pergi mengembara mencari guru tarekat di lereng pegunungan Dieng. Sesampainya di lereng Dieng, Sultan Hadiwijaya kagum melihat lukisan alam yang sangat indah. Beliau mengibaratkan sebagai Negeri Saba, negeri Nabi Sulaiman yang diriwayatkan dalam Al-Qur’an sebagai negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi.
Setelah mencari kesana kemari, Sultan Hadiwijaya akhirnya bertemu dengan guru tarekat yang dicarinya. Beliau adalah Sayyid Abdullah Quthbuddin. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya, Sultan Hadiwijaya kemudian dibai’at menjadi murid Sayyid Abdullah Quthbuddin.
Singkat cerita, setelah bertahun-tahun belajar menyelami lautan ilmu Kalamullah dan lelaku hidup kepada Sayyid Abdullah, Sultan Hadiwijaya berpamitan.
“Kamu sudah bertahun-tahun mempelajari kehidupan secara keseluruhan, dan meletakkan diri tiada lain hanya kepada Allah SWT. Sekarang pulanglah, dan yakinlah bahwa Allah akan memberimu jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi. Ikhlaskan apa yang telah terjadi, sebab jika dapat menyelaraskan keikhlasanmu maka hidupmu akan semakin dekat dengan-Nya. Sesunggunya Allah bersama kita. Jangan khawatir.”