Upaya kerajaan Sriwijaya dalam memperluas kekuasaannya ke Semenanjung Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti 775, berita-berita Cina, dan Arab abad ke-8 sampai ke 10 Masehi. Hal ini erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci pakai pelayaran dan perdagangan internasional.
Pada tahun 173 H, sebuah kapal pimpinan “Makhada Khalifah” dari Teluk Kambay Gujarat yang berlabuh di Bandar Perlak dengan membawa kira-kira 100 orang anggota dakwah yang terdiri atas orang-orang Arab, Persia, dan Hindia.
Mereka menyamar sebagai awak kapal dagang dan Khalifah menyamar sebagai kaptennya. Makhada Khalifah adalah seorang yang bijak dalam dakwahnya.
Sehingga dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, Meurah atau raja dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang beragama Hindu-Budha dengan sukarela masuk agama Islam. Selama proses Islamisasi yang relatif singkat, para anggota dakwah telah banyak menikah dengan wanita perlak.
Diantaranya adalah seorang Arab suku Quraisy menikah dengan putri Istana Kemeurahan Perlak yang melahirkan putra Indo-Arab pertama dengan nama Sayid Abdul Aziz.
Pada tanggal 1 Muharram 225 H/840 M, kerajaan Islam Perlak diproklamasikan dengan raja pertamanya adalah putra Indo-Arab tersebut dengan gelar Sultan Alaidin Maulana Syah Aziz.
Pada waktu yang sama, nama ibukota kerajaan dari Tandor Perlak berubah menjadi Bandar Khalifah, sebagai kenangan indah kepada Khalifah yang sangat berjasa dalam membudayakan Islam kepada bangsa-bangsa Asia Tenggara yang dimulainya dari Perlak. Dengan demikian kerajaan Islam yang pertama berdiri pada awal abad 3 H/9 M berlokasi di Perlak.
Selanjutnya Islam masuk ke pulau Jawa pada abad ke-11 Masehi dengan bukti ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi.
Data sejarah lainnya menyebutkan bahwa Islam masuk ke pulau Jawa pada awal abad ke-12 atau 13 Masehi, ke Maluku sekitar abad ke-14 Masehi, ke Kalimantan awal abad ke-15 Masehi, ke Sulawesi abad ke-16 Masehi. Penduduk atau penguasa kepulauan tersebut sudah masuk Islam sebelum kolonial Belanda menguasai Indonesia. (Supriyadi, 2008:190-191)
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, sejak Dinasti Tang mencacat keberadaan saudagar Tazhi Muslim di Kalingga, kerajaan di Jawa tahun 674 M (Groentvelt) hingga catatan Ma Huan pada kunjungan Ceng Ho yang ketujuh ke Jawa tahun 1443 M (Mills, 1979), Islam belum dianut secara besar-besaran oleh penduduk lokal. M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menegaskan bahwa sekalipun raja-raja di Sumatra bagian utara mengirim dua utusan bernama arab ke Cina pada tahun 1282, kehadiran muslim-muslim di kawasan Indonesia tidak menunjukkan bahwa negara-negara Islam telah berdiri, tidak juga bahwa telah terjadi perpindahan agama dari penduduk lokal dalam tingkat yang cukup besar.
Itu berarti, selama rentang waktu lebih dari 750 tahun, Islam belum diterima secara besar-besaran oleh penduduk pribumi Nusantara. (Sunyoto, 2017:398)
Baru pada pertengahan abad ke-15 Masehi, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori tokoh-tokoh sufi yang terkenal dengan sebutan Walisongo, mereka dikisahkan memiliki berbagai karomah aji kodrati, Islam dengan cepat diserap ke dalam asimilasi dan sinkretisme Nusantara.
Sekalipun data sejarah pada era ini kebanyakan berasal dari sumber-sumber historiografi dan cerita tutur, yang pasti peta dakwah Islam saat itu sudah bisa terdeteksi melalui jaringan kekeluargaan tokoh-tokoh keramat beragama Islam yang menggantikan kedudukan tokoh-tokoh penting bukan muslim yang berpengaruh pada masa akhir Majapahit. (Sunyoto, 2017:55)
Bersambung…
*Penulis Kelahiran Wonogiri ini sedang berproses di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, prodi BPI di UIN Walisongo, suka ngopi, nglinthing, dan berdiskusi.