Pergerakan kaum Modernis Islam di Indonesia mulai muncul pada abad ke-sembilanbelas di Sumatera Barat. Gerakan ini dipelopori oleh tiga ulama’, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Mereka menyebarkan paham Wahabi, menentang adat dan hal-hal yang dipandang bid’ah, dan membentuk hariman nan salapan. Persatuan ini mendapat tantangan dari golongan adat. Oleh karena itu, timbullah perang Paderi (1821-1837). Gerakan ini dianggap sebagai pemicu lahirnya gerakan pembaharuan selanjutnya. Kemudian gerakan ini menjadi kekuatan sosial yang terorganisir kebeberapa organisasi, tetapi yang menjadi representasi utama kaum Modernis Islam di Indonesia adalah Muhammadiyah. (Supriyadi, 2008:232)
Bidang Keagamaan
Muhammadiyah sebagai kaum Modernis Islam berpegang teguh pada prinsip pembaharuan “kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits”. Prinsip ini mengindikasikan bahwa untuk memahami Islam secara kafah dan murni, seseorang harus kembali merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber asasi Islam sebagaimana diwasiatkan Nabi. Menurut mereka, Nabi tidak melarang berijtihad. (Aksin, 2011:143)
Dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits kaum Modernis, berusaha menegakkan Islam yang murni dari bid’ah, khurafat, dan tahayyul. Mereka menilai itu semua sebagai sebab kemunduran Islam. (Aksin, 2011:142)
Selain itu, Muhammadiyyah juga berusaha menghilangkan segala macam tambahan yang datang dalam agama Islam. Diantara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan beasal dari Islam, antara lain: benda-benda keramat, selametan, do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-7, ke-100, ke-1000 setelah meninggal, kenduri, dan berziarah ke makam orang-orang suci.
Untuk membahas apakah tradisi serta kepercayaan yang berlaku di masyarakat itu sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits atau tidak. Muhammadiyyah membentuk suatu lembaga yang bernama Majelis Tarjih. Lembaga ini merupakan realisasi dari prinsip pintu ijtihad tetap terbuka. Fungsi dari lembaga ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu, baik bidang agama maupun bukan bidang agama. (http://tarjih.muhammadiyyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html, diakses 4 November 2018)
Bidang Kebudayaan
Sejatinya Muhammadiyyah memiliki kepedulian yang cukup terhadap kebudayaan, khususnya tentang seni. Tetapi kepedulian tersebut sulit direalisasikan karena terdapat berbagai kendala yang dihadapi, salah satu nya kurangnya dukungan dari ulama-ulama Muhammadiyyah. Baru pada muktamar ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, masalah kebudayaan mendapat porsi perhatian yang memadai dari peserta muktamar dan akhirnya masuk dalam keputusan muktamar (http://noviansangpendiam.blogspot.com/2013/12/muhammadiyyah-da-seni-budaya_29.html, diakses 4 November 2018)
Akan tetapi Muhammadiyyah tetaplah sebuah organisasi kaum Modernis, yang menganggap bid’ah apa yang tidak secara gamblang dan khusus disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits.
Termasuk di dalamnya praktik-praktik artistik spiritual kaum Tradisionalis seperti salawatan, tahlilan, yasinan, dan rebana. Mereka menganggap itu semua sebagai penghambat aspirasi reformasi yang mereka usung.
Selain itu, mereka tampak kurang antusias dengan praktik-praktik semacam itu dan adakalanya mereka secara frontal menolaknya. (Ricklefs, 2013:642)
Selanjutnya di dalam atmosfer Indonesia setelah tahun 2001 yang ditandai oleh kolaborasi tokoh-tokoh Muhammadiyyah yang moderat, keberatan Muhammadiyah terhadap kebudayaan Jawa dan kaum Tradisionalis menjadi termoderasi.
Sejak saat itu pendapat Muhammadiyah terkait kebudayaan lokal merentang mulai dari sikap terbuka bersyarat sampai penolakan mentah-mentah oleh kalangan-kalangan yang digambarkan musuh-musuh mereka sebagai puritan dan konfrontatif.
Terkadang beberapa sekolah Muhammadiyah mengenalkan siswa-siswi mereka dengan wayang atau pakaian tradisional Jawa dan pertemuan Muhammadiyyah kadang dibuka dengan pertunjukan budaya lokal. (Ricklefs, 2013:636 dan 645)
Bidang Pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah sebagai organisasi kaum Modernis mempelopori dan menyelenggarakan pembaharuan dan inovasi.
Bagi Muhammadiyah pendidikan mempunyai arti penting karena melalui inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.
Pembaharuan pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita adalah membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, pandangan luas, paham ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.
Adapun segi teknik pengajaran adalah berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran. (http://tarjih.muhammadiyyah.or.id/content-3-sejarah.html, diakses 4 November 2018)
Untuk merealisasikan pembaharuan pendidikan, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah terpadu dan membuka Muhammadiyah Boarding School (MBS).
MBS merupakan sekolah gaya modernis. Tujuan sekolah ini adalah pembinaan aqidah, akhlaq, dan ibadah sesuai sunnah Rasulullah. Di sekolah tersebut juga diajarkan bahasa Arab sebagai bahasa agama dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. (Ricklefs, 2013:503)
Muhammadiyah juga menonjol dalam pendidikan tinggi. Universitas-universitasnya di kota-kota besar Indonesia adalah institut bergengsi.
Diantaranya adalah Universitas Muhammadiyah, Universitas Ahmad Dahlan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah, Politeknik Muhammadiyah, dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. (Ricklefs, 2013:505)