Sedang berkata-kata itu maka Semar pun datanglah, maka terkejutlah sekalian dayang-dayang itu hendak lari tiada sempat lagi dan tiada dikasi(h) oleh Semar, “Janganlah tuan-tuan takut kepada hamba ini, karena hamba ini hendak bertanyakan apa pekerjaan tuan-tuan sekalian ini.” Maka katanya, “Kami sekalian ini mendapat orang jatu(h) dari atas pohon podak suda(h) mati.” Maka dilihat oleh Semar mayat itupun, maka Semar itu menghempaskan dirinya menangis terlalu sangat seraya katanya,
“Wahai anakku Petruk dan Nolo Gareng, baiklah kita pada menangis karena gustimu sudah mati, siapa lagi tempat berharap lagi.” Maka semuanya dayang-dayang itu turut menangis, maka kata Semar, “Ya tuanku tuan puteri apa mulanya maka tuan patik mati apalah sebabnya.
” Maka kata penghulu dayang-dayang itu, “Mula kami sekalian tadi ngiringkan tuan puteri pergi mandi ke dalam kolam, maka orang itu jatu(h) dari atas, kami tiada tahu karena ia suda(h) mati. maka disuru(h) tuan puteri angkatkan maka kami angkat dudukkan di dalam balai kencana serta kami sekalian tunggui, itulah asalnya jadi demikian patik tiada tahu matinya karena apa.”
Semar pun menangis meratap-ratap (katanya,) “Tuanku itu tadi hidup sekarang kehendak-Nya karena ini anak raja besar di dalam tanah Marcapada inilah gustiku.” Maka demi didengar oleh tuan puteri Manggarisi itu ratap-ratap Semar itu menjadi masgullah rasa hatinya. Maka kata Semar,
“Ya tuan puteri, jika demikian jikalau tuanku tolong boleh kita coba-coba ada lagi ikhtiar patik mau coba-coba kalau-kalau masi(h) kembali hidup kalau nyawanya lagi kesasar boleh ambilkan siri(h) sekapur, yang suda(h)-suda(h)nya jikalau nyawa kesasar boleh jadi hidup pula suda(h)-suda(h)nya begitulah patik kerjakan.
” Maka kata tuan puteri, “Hai dayang-dayang, segeralah engkau ambil puanku di atas maligai.” Maka segeralah dayang-dayang berjalan, tiada berapa antaranya maka datanglah dayang itu serta katanya, “Inilah puan suda(h) patik ambil.” Maka kata Semar, “Ya tuanku, kasi(h)lah siri(h) itu sekapur.
“segeralah diperbuatnya kasihkan itu, maka kata Semar, “Ya tuanku, makanlah oleh tuan puteri sepahnya itu kasihkan kepada tuan patik yang mati itu.” Maka diamlah tuan puteri maka hendak disuapkannya, maka kata Semar, “Tiada demikian itu, suapkan oleh tuanku sendiri bertemu mulut itulah sarat yang habis besara(t).
” Maka tuan puteri itupun tunduk berdiam dirinya berasa malu itu, maka kata Semar dan inang pengasuhnya, “Ya tuanku, apakah jadinya sekarang had suda(h) hampir petang, baiklah kerjakan seperti kata Semar itu supaya kita segera pulang.” Maka tuan puteri itupun segera mendapatkan mayat Raden Arjuna itu, maka disuapkannya bertemu mulutnya.
Raden Arjuna itu dirasanya tuan puteri itu maka dibukakannya matanya maka ia pun duduk serta memegang tangan tuan puteri Manggarisi serta dipangkunya dan dipeluk diciumnya. Maka tuan puteri itu hendak lari itu tiada dapat, maka dibujuknya dengan kata yang lema(h)lembut dan beberapa cumbuan kata yang manis-manis, kidung dan kakawin terlalu merdu suaranya seperti kumbang mencari bunga itu.
Maka datanglah welas dan kasihan hatinya terpandang pada muka Raden Arjuna itupun, maka Raden Arjuna berkata kepada Semar, “Adu(h) wai kakang Semar, baiklah kita masuk ke dalam negeri.” ‘ Maka didukungnya isterinya berjalan masuk menuju maligai tuan puteri itu, lalu masuk ke dalam istana itu duduk berkasi(h)-kasihan beserta makan dan minum tiap-tiap hari bersenda gurau.