Ngilmu Rasa (II)
“Rasa” bagi orang Jawa sering dimaknai sebagai bagian “terdalam” di diri manusia dalam menangkap “Kebenaran”. Tentu dengan tingkat dan jenjang tertentu, orang bisa menempelkan kata “rasa” terkait makna perasaan “sakit” saat kulit anda tersayat, rasa “manis” saat Anda mencecap gula, rasa “patah hati” saat Anda ditinggal kekasih, rasa “tercekat” saat memandangi sebuah keindahan, atau rasa “bahagia” saat melihat anak-cucu hidup harmonis, hingga “rasa” dalam menangkap “Kebenaran”, atau bahkan “rasa” dalam “merasai” hidup ini (urip).
Jika Anda mau sedikit bersibuk menelisik, untuk menyebut kata “makna” atau “arti”, orang Jawa menyebutnya dengan kata “surasa” atau “suraos” (krama-inggil rasa). Saat anda mendengar Khotbah Jum’at dalam bahasa Jawa, setelah membaca ayat Quran dalam bunyi Arab-nya, sang khatib akan menambahkan, “Ingkang suraos-ipun”, alias “yang artinya”.
Di dalam perbendaharaan beberapa manuskrip kesusastraan “serat” maupun “suluk”, kadang-kadang kata “surasa” dikembangkan dalam bentuk kata lain seperti “wirasa” maupun “wiraos”, atau juga “sawirasa” persis seperti “Kitab Bonang” menyebut istilah “wirasa-ning usul suluk”, atau dalam kasus istilah “Serat Cebolek” dalam kata “rasa-ning kawi”.
Dari keterangan ini, meski memiliki keterkaitan semantik, kata “surasa” dengan padanan kata “makna” atau “arti” sebenarnya tak benar-benar bisa secara sepadan disejajarkan. “Surasa”—yang sering diterjemahkan “arti” itu—seolah ingin menekankan sebuah “makna” yang ada, bukan semata dalam sebuah ujaran teks-tulisan dan diskursus (seperti tertangkap pikiran semata), melainkan sebuah “makna” yang telah meresap dalam “hati”, alias telah meresap dalam “rasa” terdalam manusia (weh reseping ati).
Oleh karenanya, selain sebagai fakultas epistemologi diri dalam menangkap “kenyataan” yang berjenjang-menaik, Ia, kata “rasa” itu sering dimaknai sebagai “inti”, yang kita tahu sepadan dengan kata “galih” yang juga berarti “inti” atau “hati”. Kata ini dengan begitu, tak hanya sebatas fakultas “epistemologis”, tapi merupakan “fakultas ontologis” diri utuh dalam menangkap dan “merasai” kebenaran hidup ini.
Atau dalam bahasa lain, dalam menangkap lukita-nya Alam, yakni sebuah susunan huruf yang membentuk kesatuan ayat. Sebuah sasmita dan pasemon Agung sang “Kebenaran” hidup. Rasa iku rasul, wijile rasa-ning urip.
Tak aneh misalnya, jika dalam sebuah percakapan, dalam menimbang masalah tertentu, orang diminta dengan perkataan, “mangga dipun penggalih” (galih) atau “mangga dipun rasa-rasa piyambak” (rasa). Alias “silakan dipertimbangkan”.
Tidak hanya dengan menggunakan fakultas “akal” kita ansih seperti diajarkan sekolah kita, melainkan dengan mengaktifkan “hati” (galih) dan “rasa” kita. Dengan cara tersebut, kebenaran yang begitu misterius, adiluhung, dan begitu “rahasia” itu bisa kita rengkuh sedikit demi sedikit, yang sebenarnya merupakan sebuah proses tak henti dengan jalan rendah “hati”, dalam menyingkap yang “benar” dalam Alam semesta (baca: alam, alamat-Nya). Persis seperti kita “merasa”-i misteri hidup yang tak terperi ini. (sang urip).
Dalam merasai dan memaknai hidup, Anda tak mungkin mengandalkan “akal” dalam memahami kemenyeluruhannya. Bukan bermaksud merendahkan fakultas tersebut, melainkan setiap “fakultas” diri semestinya memiliki “porsi” (baca: isti’dad) kebenarannya masing-masing.
Kulit Anda mungkin bisa merasakan lengketnya cairan gula, tapi tak bisa merasakan rasa manisnya. Pandangan mata anda bisa menangkap “putih”-nya kain, yang tak benar-benar bisa ditangkap dan dibedakan oleh nalar pikiran Anda.
Atau ketak-berhinggaan batas pemikiran anda, yang tak bisa dijelaskan oleh panca-Indra yang berbatas. Juga “rasa” bahagia Anda yang tak benar-benar bisa Anda jelaskan menurut pemikiran Anda.
Begitupun Hidup, ia mengundang kita untuk terjun dalam sebuah “penerimaan” utuh dari seluruh bagian diri ini, dalam menyelaraskan “gerak rasa”-nya”. Ya sebuah ajakan untuk tenggelam dalam “laku” berdedikasi dengan mengikuti “arah”-Nya. Lelakon hidup ini ternyata telah dan sedang menuju sesuatu dalam sebuah gerak teleologis berarah, Sangkan Paraning Dumadi.
Lelaku atau perjalanan hidup itu ringkasnya, sebenarnya tidak terjadi “di luar”, melainkan sebuah perjalanan menuju “ke-dalam”. Yakni sebuah “perjalanan” dalam (1) mengendalikan keinginan (Karsa) egotis yang merusak, (2) menajamkan pikiran (Cipta) dengan menepis jebakan pamrih diri, maupun (3) menjernihkan hati dari kealpaan akan tujuan hidup (Jiwa).
Dengan cara itu, bagian terdalam dari diri kita itu, yakni (4) “rasa” terdalam kita, bisa sedikit-demi sedikit bisa menjadi cermin bening bagi kebenaran “Alam” atau “Jagad” atau hidup itu sendiri.
Oleh karena ketakberhinggaan “terdalam” rasa diri yang ingin dipahami, maka Ia sering dikatakan sebagai sebauh “misteri” yang terus-menerus mengundang tanya. Ia sering dikatakan sebagai “rahsa” alias “rahasia” terdalam dari diri.
Oleh karenanya kata “rahsa”—sepadan dengan arti “sirr” dalam bahasa suluk (tasawuf)—sering dialih-lapalkan dengan kata “rasa”, alias “inti” atau “rahasia” terdalam pada “jagad” diri manusia sendiri. Keterangan ini sekaligus ingin mengatakan bahwa pada proses awal Islamisasi di pulau ini, kata “dzauq”—yang sering diterjemahkan sebagai “rasa” sebagai fakultas diri dalam menyerap kebenaran—belum dikenal. Kata “sirr” lebih masuk akal.
Dalam sebuah paragraph di “Primbon Attasadur Adam Makna”, terutama saat menerangkan serat “Wirayat Jati” ihwal bab “gegelaran kahananing pengeran” (keber-ada-an Tuhan), Anda akan bertemu sebuah kutipan, yang menurut keterangan dalam primbon ini, diatributkan sebagai hadis (qudsi) Nabi: “Al insanu sirri, wa ana sirruhu”.
Yang menarik, ia menerjemahkan bait-bait hadis ini dengan arti, “Sejatine menungsa iku rahsa-ningsung, lan Ingsun (Allah) iku rahsa-ning menungsa”. Atau jika dibunyikan dalam bahasa Indonesia menjadi, “Manusia itu rahasia-Ku (Allah), dan Aku itu rahasia-nya manusia”. Dalam perkataan Nabi tersebut, kata “sirr” (Arab), yang memang secara harafiah bermakna “rahasia”, diterjemahkan dengan kata “Ra(h)sa”.
Bait-bait kutipan perkataan Nabi (baca: hadis qudsi) tersebut, juga bisa ditemukan dan termaktub di “ Serat Wirid” karya Ronggawarsita, terutama di bagian yang menjelaskan ihwal “gelaran kahananing Dzat”, persis verbatim seperti terjemahan perkataan Kanjeng nabi yang telah disebut sebelumnya.
Malah, dalam “Serat Tuhfah” (basaning tuhfah)—sebuah manuskrip berbahasa Jawa seperti ditemukan oleh A.H. Jhons—terutama pada “pupuh” kedua (Asmaradana) di “pada” ke-9 (bait 9)—saya malah mendapat afirmasi ihwal permainan kata “rahsa” dan “rasa” yang saling dipertukarkan: “Manusa rahsa-ningwang, pan i(ng)sun rasa-ne iku”. Manusia itu ra(h)sa-Ku, dan Aku (Allah) “rasa”-nya manusia.
Tak aneh jika, jika kita sering mendengar, “Jawa iku panngone rasa”, alias kebudayaan Jawa meletakkan (kata) “rasa” pada tempat yang begitu tinggi. Persis seperti adigium, “Jawa itu nggone semu”.
Ia, pada kebudayaan ini, juga dianggap tempat-nya dimana hal-hal yang “samar” (semu) dan “tersembunyi” diberi perhatian lebih (pasemon). Orang, dalam konteks ini, diminta menyesap dan tenggelam dalam sebuah semesta tanda (sasmita), yang sebenarnya menyelubungi secara berlapis kenyataan hidup dan alam ini.
Sebuah sasmita agung (ayat), yang sebenarnya telah ada dan tercermin dalam “jagad cilik” (mikrokosmos) dalam diri manusia sendiri. Ya sebuah undangan untuk mengawasi dan melihat diri-sendiri (“mulat sarira”), yakni tempat “rasa” hidup beserta kebenarannya dapat ditangkap dalam dimensinya secara menyeluruh dan utuh. “Rasa” itu “Aku”, dengan A besar, kata “Wedharan Wirid” yang terkenal.
Budaya “rasan-rasan” dengan seluruh atribut negatifnya hari ini mungkin pada awalnya adalah sebuah latihan untuk menangkap, menebak, serta menerka “semu” (yang samar) dari apa yang “dirasakan” orang lain. Alias merasakan apa yang dirasakan orang lain. “Ng-raos-aken rasa-ning tiyang sanes.”
Ya, sebuah latihan untuk mengetahui apa yang dirasakan orang lain (tepa sarira), bukan pertama untuk menderet keburukan-keburukan yang diperbuat orang-lain, melainkan agar “tindak-tanduk” perbuatan dan “rasa” kita selaras dengan “rasa” orang lain, alias agar tidak “menyakiti” perasaan orang lain.
Oleh karena itu, orang harus dituntut waspada terhadap “kesamaran” atau “semu”—yang juga bisa berarti “gelagat” dan “raut muka” seseorang dalam bahasa Jawanya—dari perbuatan, respon, tanggapan, maupun rasa terdalam orang-lain.
Dengan cara mengenali yang samar itu, orang akan bisa meng-enak-kan perasaan orang lain, sehingga apapun yang keluar dari tingkah laku dan ucapannya dalam sebuah pergaulan selalu selaras dan “manis”. Atau dalam bahasa “Serat Wedhatama”, “waspadeng semu, sinamun samudana, sesadon ing adu manis”.
Oleh karena itu, konsep tentang “olah rasa”, “rasa-pangrasa”, “rumangsa” atau “ilmu rasa” menjadi sebuah kosakata yang tidak asing di telinga. Malah, saya menduga konsep dari turunan kata “rasa” ini benar-benar telah membentuk skema besar pandangan dunia yang merangkai semesta lingkaran semantik—sebut saja begitu—atas “makna” serta “kebermaknaan” hidup ini seperti dijalani oleh bangsa Jawa, atau bahkan mungkin oleh masyarakat Indonesia secara gradatif.
Konsep ini dengan seluruh turunan katanya, seolah ingin menggeret kita dalam sudut spectrum tertentu untuk menilik ulang meneliti “rasa” dan “kedirian” sejati diri sendiri (manusia).
Hal ini sekaligus mengingatkan kita akan kata “jati diri”, dimana laku “olah diri” mengenali “ra(h)sa” terdalamnya adalah sebuah pertaruhan yang berujung pada pertemuan dengan “diri (se)jati”-nya, yang memang merupakan jangkar dari seluruh “makna” atas perjalanan dan lelakon hidup ini.
Dalam “perjalanan” mencari “makna”, “ra(h)sa” atau “rahasia” kehidupan ini, orang kita dengan rendah hati memilih bersibuk “menjalani” -nya (nglakoni), daripada alih-alih menjelaskan dalam bangun “makna” yang jelas dan padu.
Namun, jika orang bersabar dan rendah hati dalam olah diri untuk melatih “kepekaan rasa” atas lapisan “samar” dari hidup dan semesta kehidupan ini, yakni dalam sebuah laku etis berdedikasi untuk mengindahkan diri (akhlak utama).
“Kebenaran” hidup beserta “misteri”, “kesamaran” (semu), dan “ke-ghaib-annya” akan tersingkap dan merembesi “rasa terdalam” diri Anda—meminjam istilah Wedhatama, “wis bisa nuksmeng pasang semu, pasemoning hebing kang Maha Suci.”
Karena pada akhirnya hidup berserta kebenaran-nya itu adalah diri kita sendiri, “rasa” kita. Dan “rasa” itu “Aku”. Ya Hayyu.
Allah A’lam. (IA)