Ngilmu
Sikap atau tindak intoleran dalam kesadaran Jawa dianggap sebagai perilaku kekanak-kanakan atau belum dewasa (“durung Jawa”).
Karena sang pelaku belum bisa menerima atau mentolerir pendapat berbeda dari sudut ruang mentalnya sendiri yang egoistik. Ia sederhananya belum bisa ber-“tepa selira”, yang dengan begitu membuat dirinya dalam keadaan cacat etis “durung Jawa” tersebut.
Dalam bingkai “Kawruh Jiwa”-nya Suryomentaram, ia masih terbelit “Kramadangsa”-nya (ego) yang menghalanginya mengenali kenyataan apa adanya (“kawruh”). Ia tidak hanya masih mencampurkan kawruhnya dengan “kemauan egoistiknya” atau “keyakinannya”, melainkan ia sejatinya sedang mencegah dirinya sendiri dari hujan pengetahuan (“udan kawruh”), sebelum hambatan “egoistik Kramadangsa”-nya ia singkirkan.
Padahal kita tahu bahwa keadaan ber-“tepa selira”, adalah baru tahap awal dari laku berikutnya bernama “mulat sarira” dan laku “mawas diri”. Yang terakhir kita tahu punya konotasi yang lebih ruhaniyah dan esoterik.
Namun, kaweruh yang lebih esoteris itu (baca: “ngelmu”) hanya merupakan tahap lanjutan dari pengandaian tercapainya “kaweruh lahir” sehari-hari.
Dalam kerangka yang lebih besar, berpengetahuan atau usaha “menemukan” kebenaran dalam nalar ini adalah serentak juga merupakan “laku” etis. “Bener durung mesti pener,” kata orang Jawa.
Epistemologi dan etika dalam kamus Jawa tidak benar-benar bisa terpisah. Semakin bertambah pengetahuan seseorang diandaikan berjalan beriringan dengan pertambahan “kualitas etis” pribadi yang bersangkutan.
Karena berpengetahuan adalah laku memandang diri (mulat sarira), dengan cara bercermin pada yang di luar dirinya (tepa sarira), agar ia bisa menemukan “Diri” terdalamnya (mawas diri). Kualitas pengetahuan mau tak mau pasti mengantarkan pada kedewasaan moral dan ruhaniyah.
Dalam khasanah tradisional kita punya kalimat, “ilmu yang tak membuat kualitas akhlak meningkat adalah bukan ilmu”.
Karena jika kebenaran dipisahkan dari irisan etisnya, bukan saja membuatnya menjadi totaliter, melainkan ia hanya dijadikan pembenar hasrat “Kramadangsa-egoistik” yang memang belum tertundukkan.
Ngilmu pada akhirnya adalah memandang, meneliti, dan menemukan “Diri”, alias sang rahasia atau “ra(h)sa”-nya kebenaran. Yaitu “rasa Diri” kita sendiri. (Irfan Afifi)