Putera Demang Kalibeber yang bernama Raden Luwar alias Tan Jin Sing alias KRT. Secodiningrat adalah Bupati Yogyakarta pada masa Sultan HB III. Alkisah, beliau adalah etnis Tionghoa. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah Ki Demang/Glondong Kalibeber ayah dari Tan Jin Sing ini adalah seorang Tionghoa atau bukan?
Kali itu ndereaken melanjutkan mencari Tan Jin Sing di Kalibeber, tepatnya ke PPTQ Al – Asy’ariyyah Kalibeber. Pondok Pesantren tertua di Wonosobo ini berdiri tahun 1832, atau 72 tahun setelah kelahiran Tan Jin Sing.
Berangkat dan Sowan Abah Atho’. Kemudian ditunjukkan kepada kami sebuah lajur jalan di depan Pondok Pesantren oleh beliau. Dulunya sebelah selatan jalan adalah Pecinan dan sebelah utara jalan adalah Kauman.
Pembagian wilayah ini hanya untuk memudahkan sistem administrasi saja, serta memudahkan menjalankan adat istiadat masing-masing. Bukan mengkotak-kotakkan, karena penduduk antar wilayah tersebut berinteraksi sebagai masyarakat seperti biasa.
Sebagaimana yang sering saya singgung dari tulisan atau ngobrol dengan teman-teman bahwa terkait hal semacam toleransi, pluralisme, dan sebaginya di Wonosobo terutama urusan semacam itu sudah khatam dan lumrah dalam menjalani kehidupan masing-masing. Semua menghargai saling menghormati dan berlangsung sampai sekarang tentunya.
Dalam pembicaraan yang berlangsung singkat tapi sangat padat pendaran ilmu yang menyelingi perjumpaan kali itu. Saya anggap sebuah perjumpaan agung, liqoun ‘adhim. Yang sangat berkesan atau istilah apalah yang menjadi buah pikir dan masuk dalam pikiran.
Sebenarnya diri kita ini adalah tuas, labet, hikmah dari mbah-mbah kita dulu. Boleh jadi mbah-mbah kita pernah bertemu dan pernah sefrekwensi untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Seperti yang tertuang dalam petikan al arwah junudu mujannadah. Jiwa-jiwa itu sepasukan berada dalam komando yang sama. setiap jiwa masing-masing kita akan selalu mengajak untuk berkumpul dengan jiwa lainnya yang mempunyai kecenderungan yang sama, prinsip yang sama, ideologi yang sama juga keyakinan yang sama.
Bahwasanya ruh itu diciptakan sebelum tubuh, maka ruh itu saling bertemu dan saling mengendus atau menciumi. Maka ketika timbul ( terbentuk ) jasad. Yang kemudian kita saling mengenal.
Dengan pengertian dari makna tersebut maka jadilah kita saling mengenal dan menyelisihi terhadap apa yang telah ditetapkan pada masa yang terdahulu ketika awal ( penciptaan ) apabila kita merunut perjumpaan awal.
Tapi kembali pada ungkapan yang nyantol dipikiran dan akik yang saya bawa pulang, bahwa “mbah-mbah dewe boleh jadi pernah ketemu, nah awakdewe iki wujud seko mbahe dewe mbiyen.” Bersambung..