Saya menerjemah-bebaskan “an-nabiy al-ummiy”, sebagai “nabi yang keibuan”, yaitu seseorang yang lahir-batinnya telah sampai pada dan melebihi taraf kualitas seorang ibu.
Tidak semua ibu bisa keibuan. Seperti halnya tidak semua lelaki bisa melelaki atau bahkan meng-ibu. Maka saya menyebutnya “kualitas keibuan”, yaitu ahli ngemong, menyayangi, merahimi, merahmani, dan terutama rela menderita kesakitan-kesakitan untuk “anak-anaknya”.
Saya menghikmati Kanjeng Nabi sebagai an-nabiy al-ummiy, nabi yang keibuan. “Ummiy” di sana saya artikan bersifat ibu.
Memang, secara jasadiah, Kanjeng Nabi adalah lelaki. Tapi ia seorang lelaki yang sudah melampaui kelelakian. Dan, karena itu, ia meng-ibu. Bahkan melampaui kualitas ke-ibuan sebagaimana umumnya ibu yang belum bisa meng-ibu dan telah meng-ibu. Tentu saja itu sakit.
Di situlah, Kanjeng Nabi adalah kawan yang namanya selalu harus disebut-sebut jika ingin meng-ibu.
Kira-kira itu epistemologi yang saya sumberkan. Bukan maskulinisme atau feminisme.
Bukan pula epistemologi untuk mencari titik-temu dalam kajian atau diskursus kelelakian atau keperempuanan. Metodenya berbeda, maka temuan atau kesimpulannya juga berbeda.
Sebagai lelaki, saya sedang belajar meng-ibu. Tapi saya nggak bisa masak, melahirkan, dan menyusui. (Ya)