Macapat adalah karya sastra berbahasa Jawa baru berbentuk puisi yang disusun menurut kaidah-kaidah tertentu, meliputi guru gatra, guru lagu, guru wilangan (Saputra, 1992: 8).
Pembacaan wacana macapat adalah dengan cara ditembangkan berdasarkan susunan titilaras ‘notasi’ yang sesuai dengan pola metrumnya, sehingga macapat disebut sebagai puisi yang bertembang.
Macapat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yakni sebagai salah satu bentuk karya seni sastra dan seni vokal. Budya Pradipta memberi batas terhadap macapat adalah sebagai berikut: puisi tradisi Jawa yang ditembangkan secara vokal tanpa iringan instrumen apapun dengan patokan-patokan tertentu yang meliputi patokan tembang dengan patokan sastra.
Sebagai tembang, macapat mengenal patokan menembangkan dengan sistem umum empat suku kata, adhengan (satu kesatuan perhentian tembang), pedkotan (satu kesatuan yang terdiri dari suku-suku kata), ngkatan (permulaan menembang).
Pungkaman (pengakhiran tembang), sebagai sastra macapat mengenal patokan penulisan, dimana setiap bait macapat ditentukan/ diatur oleh guru gatra (ketentuan tentang jumlah larik), guru wilangan (ketentuan tentang jumlah suku kata perlarik), dan guru lagu atau dhongdhing (ketentuan tentang jatuhnya vokal pada setiap larik) (1993/1994).
Secara etimologi ada beberapa pendapat mengenai macapat, salah satunya mengatakan bahwa macapat merupakan maca-pat lagu (tembang tahapan kempat) dalam perjalanan puisi Jawa bertembang.
Puisi Jawa bertembang tahap pertama disebut maca-sa lagu atau disebut juga tembang gedhe atau sekar ageng, puisi Jawa bertembang tahap kedua disebut maca-ro lagu atau dianggap sebagai tembang gedhe setelah tahap maca-sa lagu, dan puisi Jawa bertembang tahap ketiga disebut maca-tri lagu atau disebut juga tembang tengahan.
Akan tetapi, pernyataan Pigeuad tidak menyebutkan tahun pastinya. Sedangkan, Karsono (1992a: 16) mengasumsikan bahwa macapat sudah ada pada pertengahan abad XV.
Hal tersebut sejajar dengan tradisi tutur yang menyebutkan bahwa beberapa pola macapat diciptakan oleh para wali, sedang sumber-sumber sejarah memberikan petunjuk bahwa para wali penyebar agama Islam hidup sekitar abad XIV-XV pada masa akhir Majapahit dan Demak.
bersambung..