Angan dan cita-cita itu entah dari sang orang tua atau pun dari dirinya sendiri. Untuk dapat mewujudkan angan dan cita-citanya dalam hidup, seorang anak kemudian melakoni aktivitas yang didorong oleh kehendak alias kekarepan.
Berbicara masalah kekarepan, filsuf Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962) menawarkan sebuah ilmu yang dirumuskannya sejak abad ke-20 dimulai.
Belakangan orang menyebut ilmu itu sebagai Kawruh Jiwa yang berfungsi untuk mengenali diri sendiri. Kawruh Jiwa dimulai dari laku untuk mendisiplinkan kehendak, menajamkan pikir, membersihkan jiwa, dan berujung pada pengenalan diri akan hakikat hidup.
Satu prinsip Kawruh Jiwa yang cukup penting adalah mulur (mengendur) dan mungkret (mengerut) dalam bagian Kawruh Karep. Dimana kalau keinginan terpenuhi, maka akan mungkret. Namun, keinginan akan mulur lagi sampai pada titik kehendak tidak terpenuhi. Kalau keinginannya terpenuhi, maka akan senang. Kalau tidak, makan akan susah. Itu sifatnya abadi—hukum keinginan
Seorang manusia tentu akan menemui susah dan senang, sebuah fakta kehidupan yang tidak dapat dihapus. Karena itu, bercita-cita menghapus kesusahan dalam hidup adalah upaya yang berujung sia-sia saja.
Berdasar ajaran Ki Ageng Suryomentaram, bahwa bahagia bukanlah kondisi ketika manusia tidak punya kesusahan sama sekali. Bahagia itu adalah saat seseorang sudah menerima fakta kehidupan. Orang-orang mungkin berpikir bahwa orang kaya pasti bahagia karena keinginannya terpenuhi.
Sementara orang miskin pasti susah karena keinginannya tidak terpenuhi. Padahal tidak seperti itu, yang membedakan di antara keduanya adalah pada level gagasan. Setiap orang sudah pasti punya karep.
Jika karep terpenuhi, orang akan senang. Jika tidak, orang akan susah. Prinsip selanjutNya yaitu tentang Kawruh Jiwa adalah pikiran. Pikiran merupakan aktor utama yang menggagas rasa dan menciptakan keinginan (gegayuhan).
Namun, jika tidak dikendalikan, gegayuhan dapat menjadi aling-aling atau tabir yang menghalangi diri kita untuk mengenali diri dan rasa yang sebenarnya. Misalnya seperti ini, indera mata dan pendengaran yang kita punya akan mencatat fakta bahwa seorang tetangga sudah kaya.
Namun, pikiran akan menambah fakta anyar yang membuat kita cemburu, gelisah, dan tidak bahagia karena kita belum kaya. Sehingga, apa pun yang sudah kita miliki terlihat tak lagi bermakna.
Pemenuhan kebutuhan menjadi rumit gara-gara pikiran. Prinsip-prinsip keinginan merusak kehidupan. Kebutuhan jiwa itu pengennya dihargai dan tidak dilecehkan. Akan tetapi, karena kita punya pikiran dan gagasan, kita jadi menganggap bahwa orang yang punya pangkat itu lebih dihargai dari yang tidak punya pangkat.
Di sinilah Kawruh Jiwa berperan untuk menjernihkan dan mengenali rasa diri, yang mempengaruhi pada pengenalan rasa orang lain. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram memandang “Sopo wonge luru seneng tanpo mikirke senenge tanggane, podo karo nyiapke dadung kanggo gulune dewe“ (Barang siapa ingin mencari kesenangan tanpa menyenangkan orang lain, maka sama saja dengan menjerat dirinya sendiri).
Prinsip tersebut diistilahkan dengan raos sami alias rasa yang kita miliki sama dengan rasa punya orang lain. Rasa enak diri sendiri pasti harus mengandaikan rasa bahagianya orang lain. Karena itu, rasa senang tidak mungkin dicapai dengan proses egoisme.
Egoisme pasti berdampak destruktif dan menimbulkan konflik di masyarakat dan akan kembali pada diri sendiri. Kawruh Jiwa sangat aplikatif lantaran kini banyak psikoterapis yang menggunakan pendekatannya. Apalagi, untuk anak muda masa kini yang kerap diterpa kegalauaan atau sekarang familier disebut insecure.
Melalui Kawruh Jiwa, anak muda akan matang secara jiwa dan tidak terempas oleh hal-hal duniawi. Usaha untuk mengenali diri sendiri mengantarkan pada kebahagiaan yang tidak bergantung pada keadaan dan waktu. Kita juga tidak akan khawatir dan menyesal pada masa mendatang. Hidup pun tenteram karena telah menerima susah dan senang.