Sejauh manakah akulturasi yang diperbolehkan syariat islam dg budaya lokal, saya kira kita perlu mencontoh atau belajar dari Sunan Kudus, dengan wujud Menara Kudus dan masjidnya.
Menara Kudus merupakan sejarah hidup yang hingga sekarang mengandung banyak nilai dan makna. Hampir seluruh aspek dalam Menara Kudus ini menyiratkan nilai-nilai keberagamaan para pendahulu, khususnya masyarakat di era Sunan Kudus. Menara Kudus merupakan satu-satunya prototype tepaselira (toleransi) masyarakat plural yang ada di dunia. Pasalnya dalam satu konstruk bangunan.
terdapat tiga simbol keagamaan di dalamnya: Islam, Hindu, Budha. Selain itu, masjid simbol Islam, Menara dan bangunan sekitar mewakili simbol hindu, dan di tempat wudhu terdapat relief simbol budha.
Juga ada lagi misalnya seperti, tuntunan-tuntunan yang diajarkan oleh Syekh Ja’far Shodiq seperti larangan menyembelih sapi juga turut mewarnai kerukunan beragama masyarakat Kudus pada saat itu.
Di atas artefak menara dan ajaran-ajaran Sunan Kudus yang membentuk keberagamaan toleransi di Kota Kudus, ada sebuah simbol yang menjadi sangat penting untuk digali lebih dalam maknanya. Simbol tersebut adalah ‘banyu panguripan’ (Air Penghidupan) yang disebut dengan mbelik.
Banyu, sebagaimana yang ada dalam setiap term kebudayaan, agama, maupun sains merupakan sebuah simbol untuk menggambarkan kehidupan. Bahkan di dalam Al-Qur’an (Q.S. Fussilat; 39) disebutkan bahwa bumi yang kering dan tandus jika disiram oleh air maka akan menjadi hidup. Artinya, air merupakan sebuah instrumen untuk menghidupkan segala sesuatu yang mati atau menyegarkan sesuatu yang kering. Instrument inilah yang menjadi simbol penghubung antara manusia dan Tuhan. Air juga digunakan untuk membasahi jiwa-jiwa dari kekeringan iman.
Setiap agama memiliki air sucinya masing-masing yang biasa digunakan untuk dakwah, pengobatan, atau wacana penggerak sosial. Islam memiliki air Zam-Zam, Budha memiliki air Paritta, Hindu punya air Gangga, Nasrani punya Air Suci. Sunan Ampel punya Air Gentong, Sunan Drajat memiliki sumur Kotak, Sunan Kalijaga punya sumur Jalatunda, dan Sunan Kudus memiliki Banyu Penguripan.
Eksistensi ‘Banyu Panguripan’ ini telah menjadi bagian penting dalam ranah psikologis masyarakat, sehingga setiap punya gawe masyarakat selalu ingat leluhur dengan menyajikan selametan atau mengambil berkah air suci.
Antara masyarakat dan leluhur tidak tercerabut oleh rentang waktu, melainkan tetap menyatu dengan air dan selametan. Banyu Panguripan adalah manik-manik yang menyatu membentuk mata rantai dakwah yang santun dan menghargai dinamika lokal.
Dengan mengambil semangat historis yang yaduru ma’a illatihi wa bi’atihi, L’ Histoire se Repete, mari mengabadikan semangat kebersamaan, tepa selira dan komitmen untuk hidup berdampingan dengan local wisdom masing-masing.