Membaca kitab mbah Sholeh Darat seperti diperjalankan untuk menyelami kelimuan dari ulama’ Nusantara. Meski belum seluruh dari kitab karya beliau, masih sekedar ‘sok-sokan’ membaca beberapa saja. Tetapi ini adalah ikhtiar tipis-tipis yang disebut masih tahap belajar.
Sebagaimana pertemuan dengan kitab KH. Sholeh Darat ini pun tak direncana tentunya, dari kitab Munjiyat dan sampai kitab Lathaif at-Thaharah.
Dengan menggunakan bahasa arab pegon dan juga pembahasan dengan sederhana mengenai hakikat dan rahasia shalat, puasa, dan keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban supaya dapat dimengerti awam, akan tetapi sekarang ini sedikit sekali yang mengetahui kitab Lathaif at-Thaharah wa asrar al-Sholah Fi Kafiyat Shalat al-Abidin wa Al-Arifin.
Kitab tersebut ditulis dalam huruf arab gundul tetapi berbahasa Jawa (pegon). Karya tersebut merupakan manuskrip peninggalan Kiai Sholeh Darat dan hasil pemikiran Kiai Sholeh Darat untuk mempermudah orang awam dalam mempelajari agama Islam.
Membasuh muka berarti membasuh wajah yang selalu sibuk menghadap pada dunia dan kemewahannya. Oleh karenanya, hendaknya dibasuh dengan air taubat dan istighfar.
Membasuh tangan berarti membasuh ketergantungan kepada makhluk. Mengusap kepala berarti tawadlu’ pada Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Sedangkan membasuh kaki adalah membasuh bekas langkah keliru atau dosa perbuatan.
Kemudian masuk pada fashlun fi fadhilati yaumi ‘asyura bahwa awal Muharram adalah tahun barunya seluruh umat Islam. Adapun tanggal 10 Muharram adalah ‘Hari Raya’ yang digunakan untuk bergembira dengan shadaqah.
“Hari raya ini adalah untuk mensyukuri nikmat Allah, bukan hari raya dengan shalat. Tetapi hari raya dengan pakaian rapi dan memberikan makanan kepada para faqir,” demikian penjelasan di kitab Lathoifu-thoharoh.
Kyai Sholeh Darat menjelaskan nilai-nilai spiritualitas yang berhubungan dengan bersuci dan shalat. Saat berwudhu, niatkahlah membuang nafsu dan dosa. Jika orang sempurna wudhunya, secara syariat maupun hakikat, maka akan mudah mencapai khusyuk dalam shalat.
Caranya, lanjut beliau menerangkan isi kitab, jangan bicara setelah usai wudhu. Langsung menuju tempat shalat dengan pikiran tetap konsentrasi bahwa diri hendak berjumpa Gusti Allah Swt.
Ada makam-makam yang seseorang selalu kangen untuk menyowaninya. Entah seminggu sekali, sebulan sekali, atau bahkan setiap hari. Kekangenan terjadi karena perjalanan batin seseorang itu ada dalam rangkaian, mirip, dan bahkan sama dengan suluk sang sahibul maqam.
Hal ini sebagaimana berlaku juga bagi orang-orang tertentu yang sangat gemar membaca karya-kitab atau mendengarkan manaqib wali tertentu. Itu berarti ia memang diperjalankan di jalan yang dulu pernah ditempuh oleh wali tersebut dalam penuh-seluruhnya.
Berangkat dari ungkapan semacam itu menjadikan diri ini seperti ke-pedean, entah kenapa ndilalahnya ketika membaca kitab Lathoifut-thoharoh kala itu diceritani, dulu simbah pun juga memiliki koleksi kitab dari Mbah Sholeh Darat juga.
Sebagai orang sedang dalam proses pencarian ke-dirian, grenjal-grenjeling bolak balike ati atau kalau lebih berat lagi mencari ingsun ya segala hal dipelajari dengan membaca relief candi, dolan ke makam-makam membaca inskripsi nisan kuno menapaki genealogi serta epistemologi pada kuburan sampai buku apapun dibaca entah tentang pemikiran Karl Marx, Derrida dan sebagainya.
Nah untuk kali ini bertemu dengan kitabnya atau karya dari KH. Sholeh Darat entah nanti diperjalankan untuk menapaki pemikirian siapa? Berawal dari karya Mbah Sholeh Darat semoga adalah tahap awal sinau terkait dengan karya ulama Nusantara sebagai pijakan atau pancer pada bandul, ibarat diikat sejauh kemana berjalan nanti bakal kembali pada pijakan awal atau titik pancer itu sendiri. Wallahu a’lam bishowab.