Tak sampai sebulan, “hanya” sekira 25 hari, saya dapat menuntaskan buku Nancy Florida ini. Mengapa bisa lebih cepat dari prakiraan semula? Sebab tiga bab terakhirnya saya baca secara ngebut tipis-tipis selama dua minggu belakangan.
Ketiga bab tersebut membahas genre “piwulang putri” dalam khasanah sastra Jawa Abad ke-19 (Bab IV); hari-hari terakhir Ranggawarsita dan Serat Kala Tidha (Bab V); dan jejak tarekat Syattariyyah di dalam sastra Jawa Abad ke-19, khususnya pada sebuah karya Ranggasasmita (Bab VI).
Saya tidak akan memberi komentar secara detail, namun hanya ingin mencatat tiga poin saja — dua di antaranya bahkan tidak menjadi pokok bahasan utama Florida. Pertama, yang merupakan pertanyaan enigmatik pengarang dan juga saya selaku pembaca, mengapa genre “piwulang putri” — yang notabene ditulis oleh kaum laki-laki — meningkat produksinya di keraton Surakarta pada akhir Abad ke-19? Jawabannya tentu saja tidak akan saya ungkap di sini.
Singkatnya, ada konteks historis-politis tertentu yang bisa menjelaskannya (baca hlm. 117-123). Kedua, sebuah pertanyaan lain: Mengapa Florida tidak coba membuat analisis kontrastif, perbandingan antara “piwulang putri” yang ditulis pujangga laki-laki dan perempuan (misalkan Nyai Tumenggung Adisara, pujangga estri yang terlupakan dalam tradisi filologi Jawa yang male-dominated itu)? Sayang sekali. Ketiga, sekali lagi perihal Kebudayaan (dengan “K” kapital sebagai penanda ke-adiluhung-an) Jawa.
Florida menambahkan catatan yang lebih khusus tentang awal-mula kodifikasi kejawen (mistisisme Jawa). “Ngelmu” mistik yang diwarnai oleh spekulasi (ajaran) teosofi, namun tetap beraroma sufi, itu merupakan produk wacana kolonial dan ternyata baru dikonstruk sejak pertengahan Abad ke-19 saja.
Akhirnya, ingin saya katakan: Betapa Florida bukanlah tipe sarjana yang gemar mengumbar jargon atau terminologi esoterik yang kerap membingungkan pembaca awam.
Tidak perlu repot-repot dengan paparan teoretis rumit tentang pendekatan pascakolonial, dia dengan enak-dibaca menganalisis Ranggawarsita dalam “ruang ketiga” ala Bhabha (hlm. 144). Florida pun tidak merasa perlu berumit-rumit menguraikan teori psikoanalisis ketika sampai pada bahasan tentang, misalkan, ketakutan dikebiri (castration fear) atau metafor cermin (hlm. 134 & 231).
Dengan kata lain, dia bukan tipe perajin atau tukang teori. Umpama seorang pemusik, dia adalah pemusik yang telah selesai dengan tetek-bengek perkara teknis.
Kris Budiman