Nampak sayup-sayup terdengar pujian “Lii khomsatun uthfi bihaa harral waba’il hatimah.” dari arah langgar Wetan. Dengan suara khasnya sudah bisa di tebak siapa gerangan dibalik tembang pepujian tersebut. Iya, mbah Jogo.
Sebagaimana kebiasaan orang-orang desa sudah sejak dulu mengamalkan salawat penolak bala’ ini dengan tawassul kepada Kangjeng Nabi, Baginda Ali, Sayidatuna Fathimah dan keturunannya.
***
Ketika saya datang, dia sedang duduk di serambi langgar wetan bersandar pada tiang, tampak terkantuk-kantuk, tetapi bibirnya komat-kamit menembang lamat-lamat, seperti merintih, sangat pelan, ”Lii khomsatun uthfi bihaa harral waba’il hatimah. Kharral wabaa il // khatimah Al Musthafa // wal Murtadha // Wabnahuma wa Fathimah” Aku memiliki lima pegangan yang dengan pusaka itu kupadamkan api yang meluluhlantakkan.
Saya hanya mendekati pelan dengan berjalan berusaha duduk disampingnya. Sementara itu kayaknya mbah Jogo mengetahui keberadaan akan saya yang telah duduk disampingnya, lanjut makjegagik membenarkan songkok hitam semi menguning, menandakan seberapa jauh perjalanan songkok menemani dia kemana-mana.
“Owalah, cah bagus ta piye ono opo kudungaren?” mbah Jogo menyapa.
“heueheu, nggih mbah, kulo, nggak apa-apa mbah Cuma penasaran sama yang dilantunkan njenengan tadi itu..”
“hmm.. syiir ini ta cah, dulu aku pernah di ceritakan oleh Mbah Yai Dipo pas Ngaji di Langgar Wetan, Shalawat ini pada dekade 1950-an dan 60-an biasa dilantunkan di masjid-masjid di Jawa sembari menunggu shalat berjemaah lima kali sehari. Bahkan, kidung ini diyakini bisa mengusir wabah penyakit. Isinya tentang kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya. Kidung yang tipikal lirik dan nadanya seperti ”Cublak-cublak Suweng” gubahan Sunan Giri atau ”Lir-Ilir” karya Sunan Kalijaga. Tembang shalawat ini sendiri belum dipastikan gubahan siapa, kalau dengan bahasa sekarang masih anonim” jelas Mbah Jogo.
Menurut beliau, pepujian ini sebagai salah satu sarana untuk menyentuh hati orang banyak dalam rangka penyebaran agama Islam dan penanaman budi pekerti luhur yang dilakukan Wali Sanga, kidung ini berpola sederhana. Yang dipentingkan ialah kandungan pesannya berkenaan dengan akhlak agar setiap pribadi menjadikan cinta kepada Kanjeng Nabi dan keluarganya sebagai energi iman sehingga setia meneladani akhlak mereka dalam setiap langkah laku kehidupan.
”Aji-aji limo wujud manungso/linuwih ilmu sumber tulodo/ tindak lakune adoh ing olo/manah niate tansah waskito.”
Mbah Jogo lanjut bercerita bahwa pada masa mudanya tembang ini tidak pernah lepas dalam kesehariannya.
“Dulu di kampung ini pernah ada peristiwa musim wabah penyakit, cah. Para penduduk kampung berkumpul di satu titik kampung lalu berjalan sambil membaca li khomsatun keliling kampung setelah di perempatan kampung berhenti sebentar untuk berdoa terus lanjut berjalan lagi, sampai di titik pertemuan pertama.” Tandas Mbah Jogo menceritakan pengalamannya di masa lalu.
“Nah, itu pun dilakukan pada waktu tengah malam cah”
“Wah, mantap sekali mbah, sekhusyu’ itu, memang kecintaan orang nusantara pada Kanjeng nabi dan Dzurriyahnya sebegitu indah.” Aku terkagum.
“Di Salawat Badar juga ada kalimat “Wa kulli baliyyatin wa waba bi ahli badri Ya Allah”, dan semoga engkau menghilangkan semua bencana dan wabah penyakit, karena berkahnya ahli badar ya Allah. Ini pun perlu dimengerti dan dilakoni cah” ungkap Mbah Jogo.
“Kidung ini mengajak kita semua untuk menelaah sejarah, khususnya riwayat kehidupan junjungan mereka, karena pendidikan setiap pribadi dimulai dari lingkungan keluarga. Bagaimana Rasul memberi teladan akhlak bersama lingkungan terdekatnya sebagai pedoman hidup manusia yang selaras dengan Al Quran.”
Betapa tenteram orang Jawa masa lalu dalam asuhan para kekasih Allah yang welas asih. Mereka dibimbing dengan keteladanan dan rasa seni yang sederhana, tetapi sarat nilai luhur. Warisan para Kekasih Alloh diterapkan dalam pendidikan pesantren oleh para ulama sejati yang ketat menjaga adab dakwah dalam disiplin Rasul.
“Orang-orang desa sudah sejak dulu mengamalkan salawat penolak bala’ ini dengan tawassul kepada Kangjeng Nabi, Baginda Ali, Sayidatuna Fathimah dan keturunannya, dengan shalawat li khamsatun ini yang kemudian dipajang di atas daun pintu sebagai tabarukan dan washilah, yang insyaallah segala macam wabah penyakit bisa tertolak dari rumah kita masing-masing”
“Tapi perlu di ingat kembali cah bagus, pada dasarnya setiap amalan akan berfungsi total kalau pemilik atau penggunanya mengamalkan laku yang disimbolkan oleh kata-kalimat jimat itu. Dalam arti, kalau laku yang punya rumah jauh dari laku li Khomsatun” itu, amalannya tidak berfungsi dengan baik atau Ada yang kurang.”
“apakah bisa diperlihatkan kejelasannya mbah?”saya penasaran.
“Ohya, Bisa cah tentu. Dengan melihat dunia empiris penggunanya. Kalau ternyata rumahnya kemalingan padahal amalan atau tulisan li Khomsatun itu ada di rumahnya, berarti laku si empunya rumah masih kurang dari standar minimal laku yang dipersyaratkan oleh teks amalan, kurang temen.” Tandas Mbah jogo dengan tegas.
“Sinten mawon kang nyolawati//Kanjeng Nabi tansah nyafa’ati//
Marang limone yen tresnani//Gusti Allah bakal ngridloni//”
Semarang, 20 Maret 2020
*Cerita diinspirasi dari Yai Ahmad Baso dan Yai Yaser A