Kusen
Ada jejak-jejak yang dipatok oleh kaum muslim Jawa untuk mengabadikan hari kesembilan Muharram (Tasu’a), hari sehari sebelum peristiwa menjelang pembantaian Raden Sayyidina Kusen di Karbala pada hari kesepuluh (‘Asyura). Yang paling tampak adalah penabalan nama tempat: Tuksongo/To’songo.
Secara harfiah ‘Tuksongo’ berarti sembilan mata air. Tuk artinya mataair. Songo artinya sembilan. Sekilas, ‘Tuksongo’ beraura menyegarkan. Tapi, hal terdalam yang diacu dalam ‘sembilan mataair’ itu adalah sembilan hari yang di dalamnya airmata tertumpah. Karena esok harinya yang menjadi air bah adalah darah. Di Karbala.
Bahwa setiap rumah orang muslim jawa itu dianggap sebagai Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ana madinatul ‘ilm (akulah kota/rumah ilmu). Pintu rumah itu adalah Baginda Ngali. Wa ‘aliyyun babuha (dan Ali adalah pintunya).
Atas dasar itu, Kusen adalah ruang-ruang kecil di atas pintu, tempat angin biasa hilir-mudik. Jadi, rumahnya adalah Kanjeng Nabi. Pintunya adalah Ali. Jalan keluar-masuk udara di atas pintu itu adalah Husein.
Sementara empat pilar penyangga di bagian tengah rumah itu, adalah Baginda Karsidik (Abu Bakar as-Shiddiq), Baginda Markotob (Umar bin Khatthab), Baginda Ngusman (Utsman bin ‘Affan), dan Baginda Kasan (Hasan bin Ali bin Abi Thalib).
Berjalanlah ke ruang tengah, yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk mengheningkan cipta. Itu adalah Ibu Dewi Sri Pertimah (Sayyidah Fathimah az-Zahra).
Sesungguhnya yang demikian itu adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang dunianya belum dibelah jadi dua: Sunni dan Syiah. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (YA)
Wallahu a’lam bishowab..