Sudah beberapa hari ingin menyelesaikan tulisan yang belum selesai hanya meninggalkan draf saja. terkait dengan pembahasan yang akan saya ulas kali ini sebenarnya sudah sering disampaikan entah tema obrolan apa, saya yang sedang suka bercerita tentang hal ini, bahkan boleh bisa disebut apapun tema obrolannya, ceritanya itu-itu saja.
Tulisan papan nama ini saya temukan kali itu ketika ndereake sederek yang menikah di daerah entah berantah sana pokoknya. Saya iseng untuk menjepret dan terpantik dengan plang nama dengan tulisan “Kiai Bromosari” melihat hanya sekedar melihat tulisan saja sudah senang meski belum sempat ziarah ke lokasi pesarean tersebut.
Sebagaimana awalnya jeneng adalah (nama suluk yang menunjukkan geneologi dan epistemologi) sedangkan asma adalah nama lahir. Ambil contoh jeneng dengan sematan: Suro, Singo, dan jeneng lainnya yang sering kita temui di makam-makam entah tokoh maupun ‘ulama.
Kalau singa biasanya masih trah kyai ksatria, kadang masih nyambung ahli bait, baik jalur ibu maupun ayah, kemudian misal jeneng dengan “suro” biasanya juru tata masyarakat yang berhubungan dengan upacara-upacara kerohanian. Terkait perihal itu hari ini dianggap gelar.
Sedangkan jeneng Brama berarti lebah, yang merupakan simbol dari seorang ulama (pandita) yang mencari jalan sunyi dengan beruzlah ke gunung. menandakan bahwa pengetahuan ilahi telah mengerosi di sosok beliau. Sosok seperti beliau ini biasanya akan menjadi rujukan paling akhir para tokoh pembesar negeri setelah mereka mengalami kebuntuan nah beliau-beliau inilah menjadi tempat rujukan.
Kiai Bramasari, Bromosari pada papan nama diatas saya menganalisa bahwa beliau yang menjadi salah satu tokoh yang disepuhkan adalah seorang ‘ulama yang menjadi sumurnya ilmu sehingga banyak yang kulakan ngilmu kepada beliau, dan sematan “sari” adalan inti atau sari pati sebagaimana orang Jawa sering menautkan sesuatu dan maknanya tentu bisa lebih luas, disetiap pertautan tentu memiliki makna.
Nah hal semacam jeneng bukan asma dapat kita temukan dan digali dari arsip-arsip sejarah maupun manuskrip kuno. Juga tentunya bisa dipelajari misalnya tercatat bahwa yang mandegani urusan ini tercantum gelar tersebut, itu menunjukkan bahwa nama tersebut memang dalam makna demikian.
Dalam menentukan jeneng tersebut yang menetapkan jeneng bisa dari Karaton ketika masih sugeng atau hidup. Jadi, gelar-gelar tersebut di kraton itu bukan gelar politik, tetapi gelar perjalanan ketika menapaki suluk tertentu. Namun dalam analisis sejarah-politik, gelar-gelar itu dibaca sebagai gelar politik.
Sehingga seluruh jeneng atau gelar yang dianugerahkan pada masa itu, merupakan buah dari suluk seseorang dan juga wahyu atau ilham yang harus didapat oleh sultan atau para ‘ulama yang mendampinginya. Lain lagi kalau untuk gelar-gelar atau jeneng di luar kraton, itu basisnya adalah ahwal-maqom dalam suluk masing-masing.
Sebenarnya peradaban kita ini adalah peradaban tasawuf, jadi jeneng atau gelar bukan untuk kebanggaan, gagah-gagahan sebagaimana disebut oleh para sarjana macam th pigeud dan de Graff itu.
Dan nantinyaseluruh jeneng itu terkait dengan darah, trah, nasab atau geneologi seseorang, yang juga menentukan ilmu-ilmu apa yang akan dianugerahkan kepadanya dan juga babakan apa yang akan dipandegani.
Memang jika dibayangkan bakal serumit itu, jadi wajar kalau nalar rasional ala peradaban modern gagal mencandranya atau memandang hal ini sehingga menjadi ngawur ketika memaknai jeneng-jeneng itu hanya sebagai gaya-gayaan dan gagah-gagahan semata.
Nah, nantinya kita pun juga akan menemukan selain jeneng-jeneng yang tersemat tadi seperti Asmoroqondi, Asmorosufi, Asmorogati dan tentunya masih banyak lagi yang belum saya ketahui tentunya.
Perbandingannya seperti ini misalnya maqam “faqir, tawakkal, ‘isyq” dalam kosakata tasawuf arab, itu nanti di jawa ada jeneng-jenengnya masing-masing jeneng sebagai penanda bahwa si pemangku jeneng bermaqom/berahwal di situ sehingga jeneng yang dianugerahkan karena melihat “tajalli” sifat Gusti Allah yang nibani si penyandang jeneng tersebut. Wallahu a’lam bishowab.