Dulu (abad 17, 18, 19) kata atau gelar “kiai” menunjuk apapun, baik benda, pusaka, hewan, maupun orang/tokoh yang dianggap telah memiliki “keramat” (karomah). Oleh karenanya, kita bisa menemui gelar “Kiai Slamet” pada nama kerbau bule di Keraton Surakarta, Kanjeng Kiai Gondil pada baju-rompi yang dibikin Sunan Kalijaga, maupun nama Kiai Yasadipura maupun Kiai Kasan Besari di pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari.
Dulu, sejauh bacaan saya atas kesusateraan serat, babad, dan suluk, kata “kiai” masih disematkan kepada orang-orang yang dalam kacamata hari ini dianggap tak memiliki pesantren, karena di zaman itu pesantren punya konotasi berbeda, seperti Kiai Ageng Suryomentaram, Kiai Yasadipura, maupun Kiai Ageng Pengging (di naskah serat kadang ditulis “kiai” kadang “ki”).
Kata “kiai” seperti sering di banyak ditemukan di naskah serat dan suluk juga sering dipertukarkan dengan gelar “Ki” . Mungkin gelar “Ki” menunjuk kasus/gelar umum untuk menunjuk “Ki Yayi” (berarti menunjuk adik atau kecil) dan Ki Ageng atau Ki gede (yang kakak atau yang gede).
Siapapun orangnya yang mampu menyesap ilmu–seluruh ilmu pada saat itu selalu berarti, bernilai atau berkait dengan agama alias ia hidup dalam payung (turunan) pandangan dunia agama masa itu (Islam/Mataram), alias belum ada epistemologi lain selain Islam, yakni sebelum hadirnya interupsi epistemologi/ontologi pandangan dunia ilmu sains yang dibawa Eropa–yakni capaian orang yang telah menyesap ilmu hingga capaian wilayah terdalamnya (sampai paling batin/hakikat) ia akan dianugerahi “kemulyaan” dan “keramat” atau “karomah”.
Gradasi zahir-batin atau luar-dalam terkait ilmu pada masa itu merentang dari syariat (yang paling luar), hakikat-ma’rifat (yang paling dalam). Orang yang menyesap ilmu hingga aspek hakikatnya akan dianugerahi ilmu hikmah seperti suwuk rajah dll, maupun karomah seperti para wali (ma’rifat).
Oleh karenanya, setiap “kiai” atau “ki” di sebuah desa pasti bisa “nyuwuk” dan oleh karenanya “keramat”, persis seperti “keramat” nya kuburan wali yang menerima luberan berkah spiritual dari para wali tanah Jawi yang bersemayam di dalamnya.
Kiai oleh karenanya menunjuk orang yang yang tuntas pengetahuan ilmunya (wong pinter), orang yang dituakan atau yang dianggap paling waskita atau paling “arif” (alias keilmuannya bukan semata syariat-lahir semata melainkan telah sampai kepada hakikat maupun ma’rifat) di sebuah desa.
Ia orang yang telah bisa disesap keampuhannya (sesepuh: disesep ampuhe). Ini mirip dengan gelar seorang di masa sebelumnya dengan sebutan “sunan” yang diagungkan dihormati (susuhunan) di sebuah wilayah (sana/wali sana).
Namun seiring polarisasi masyarakat Jawa yang diciptakan Belanda dengan politik kebudayaan dan pengetahuannya: sebuah politik mengeksklusi bangsawan dari keterkaitannya dengan pesantren (satu-satunya lembaga pendidikan pribumi yang masih tersisa di masa itu, kata Ki Hajar Dewantara), yakni setelah kekalahan perang Jawa, masyarakat terpolar atau mengutub menjadi tiga varian dalam konteks relasinya dengan kekuasaan.
Sejak saat itu orang mulai menarik garis batas tegas identitas kelompok dari gelar “ki” dan “kiai” dari polarisasi masyarakat Jawa yang sudah terpecah-belah. Fakta ini diperkeras oleh munculnya sistem pendidikan politik etis Belanda bagi para priyayi yang membantu keterputusan mereka dari sistem pendidikan lamanya (pesantren).
Belum lagi, jika melihat arus reformasi agama islam di tanah Arab yang membikin para haji sepulang dari tanah Arab terdampak semakin mendekat dengan ilmu lahir (syariat) semata dan mulai mencurigai pola beragama lama masyarakat muslim jawa sebelumnya.
Kecakapan suwuk mulai menipis, masyarakat Jawa terbelah dalam kelompok varian, dan tafsir agama dalam pandangan dunia sains memenangkan pertarungan. Pembela terakhir (pujangga panutup) atau pecundang terakhir dari warisan pengetahuan ilmu lama tadi sering ditulis dalam serat dan suluk bernama “Kiai Ranggawarsita”.
*Irfan Afifi
Pengasuh Langgar.co