Saya hari ini menyadari sepenuhnya bahwa saya sedang memperumit diri dengan membaca buku.
Seorang yang memutuskan untuk menapaki “jalan” (baca: suluk) tidak seharusnya menyandarkan diri pada huruf dan kata-kata, bahkan jika ia mendaku diri sebagai kitab babon otoritatif tertua sekalipun.
Konon beberapa faqir awal menapaki ‘jalan’ dengan memecahkah botol tinta dan merobek buku. Seperti halnya Abdul Kadir Jaelani yang pernah menjauhkan para muridnya dengan menenggelamkan sebuah teks-buku filsafat ke sungai.
Bahkan seorang arif Umar Suhrawardi yang menghabiskan masa mudanya untuk menekuni buku-buku teologi, akhirnya “bersyukur” bisa bertemu seorang syeikh yang menyuruhnya menelangkupkan tangan di dadanya, yang membuat dirinya melupakan semua yang telah dipelajarinya.
Ia sang penulis “Awariful Maarif” yang mashur itu bersyukur bahwa ia tak perlu perantara kata-kata dan huruf lagi untuk mengenal-Nya. Baginya kata-kata adalah hijab, sebuah cadar ma’rifat yang melenakan. Kata-kata mungkin sejenis alat perantara yang justru menjauhkan.
Mungkin kisah banyak alim yang terkecoh yang menyandarkan diri pada buku sering menjadi subyek sindiran para arif kita. Dan para pejalan tahu, Rumi mengalirkan syair-syair indah Mastnawi-nya tanpa pernah membaca sedikitpun “Al-Luma”, “Qut Al Qulub”, maupun “Risalah”.
Mungkin para zahid kita tidak sedang mengajak kita meninggalkan ilmu, mencampakkan akal. Ia sepertinya sedang mengajak untuk mengutuk ketergantungan kitab-kitab para alim dalam memahami kehendak-Nya. Atau ia sedang ingin menyindir intelektualisme murni juga rasionalisme kering dalam menempuh “jalan” (baca: syariat) menuju-Nya.
Karena bagi para arif, seperti diungkapkan secara indah oleh Sana’i dalam sajaknya: “dalam kata-kata seperti ‘wujud mutlak’ dan ‘causa prima’, kau tak akan menemukan jalan ke hadapan-Nya”. Bahkan sang fakir ini menyindir pemuka madzab, “Abu Hanifah tidak mengajarkan cinta”.
Mungkin juga para arif kita ingin mengajak kita masuk, memusnahkan diri menuju Kebenaran dan Kenyataan yang kadang hadir dengan paradoks dan misteri. Dan para guru suci kita ingin mewanti-wanti kita bahwa bagaimanapun kata-kata dan rasionalisme bahasa kita praktis tak berdaya di depan misteri dan paradoks “Kebenaran”.
Namun pada akhirnya banyak sufi menuliskan ajaran dan pengalaman esoteriknya dengan kata-kata. Dan mereka menyadari sepenuhnya jebakannya.
Mereka tidak sedikit memilih resiko terkecil dengan menulis melalui bahasa syair dan puisi. Bahasa ini bagi mereka, bisa mengelak dari defenisi dan “logika”. Dengan cara itu, kumbang bisa menyerap saripati bunga tanpa harus terkecoh dengan warna. Melampaui dan mendiami paradoks dan misteri serentak dalam hening.
Sepertinya, bagaimanapun, para arif sadar bahwa kata-kata, bahkan dalam bahasa syair sekalipun, hanyalah pandu awal. Orang harus segera melewatinya, tenggelam dalam hening dan paradoks misteri-Nya.
Maka dari itu, Sampai Sultan Agung menyadari sepenuhnya jika persoalan terbesar kaum Sufi, katakankah begitu, adalah pada jumudnya teks-teks otoritatif yang mengekang olah rasa, demi ‘keluar’ dari belenggu tersebut, terbitlah karya Sastra Gendhing yang menempatkan ‘rasa’ olah Ketuhanan melewati maqom-maqom formal hierarki spiritualitas terminal kesufian seorang salik (penempuh) jalan ruhani.
Beliau mewarnainya dengan cita rasa Jawa, Jawi dan Jiwa Jawa yang hangat dan harmonis, bagaimana pas-nya orang Jawa mengenal Gusti Pangerannya, tentu dengan rasa Jawa bukan Ngarab.
Dunia mistik Jawa adalah dunia simbol yang membentang dari Jagad Cilik hingga ke Jagad Gede, porsi paling penting dari pengenalan atas keduanya adalah berani untuk tirakat, baik lahir maupun batin. Wilayah kata dan kalimat, hanyalah penghantar atau wasilah, lelaku lahir-batin adalah kuncinya.
Jadi, jika suatu ketika Beliau sholat Jum’at di Mekkah tanpa banyak kata dan kalimat, sekejap kemudian sudah kembali ke Keraton, inilah salah satu ‘bukti’ bahwa konsep kata dan kalimat telah ditinggalkan jauh, yang terbentang dalam rasa sanubari Sultan Agung hanya satu, WUJUD.
Aku dan rasaku ada di mana, maka lahirku dan batinku pun juga hudhur di sana. Bagaimana jika hudhur itu telah menembus jalinan rumit kata dan kalimat yang paling ‘ekstase’ sekalipun ? Maka, bagi para Auliya’illah, dunia ada dalam satu genggaman rasa, apakah semacam ini yang dinamakan Wihdatul Wujudnya Ibnu Arabi ?
Namun begitu, mengenal proses adalah sebuah kewajiban, kecuali Nabiyuna Achmad Khidir AS, karena Musa AS pun masih harus berpijak pada kata dan kalimat syariat sedang Khidir AS telah jauh melampauinya.
Bagi Khidir AS, ilmu adalah soal rasa, bagaimana mengenal Allah SWT secara jelas dan terang dengan tanpa terbebani rumitnya teks-teks otoritatif tadi. Jadi, bagaimana kita menempatkan kata dan kalimat dimaksud, hanya rumput yang bergoyanglah yang tahu jawabnya. Wallahu a’lam bisshowab.