Anjing, dalam tata simbolisme islam di Jawa, selalu berpadan dengan kerohanian. Bahkan dalam alam pikiran kebudayaan pra Islam, misalnya dalam kisah Sangkuriang, anjing digambarkan sebagai pengejawantahan dewata. Ia mengambil nama; Tumang.
Dua anjing kembar di mimbar ini disebut anjing Iman dan anjing tokid. Maksudnya Iman dan Tauhid. Anjing iman dipakai sebagai wicara tentang laku hubungan kemasyarakatan seorang muslim. Sedangkan anjing tokid/tauhid, dipakai sebagai wicara tentang laku hubungan ketuhanan.
Lahan simbolisasi anjing dan kerohanian, di Jawa, selalu melekat pada para wali yang dirinya sudah terbakar cinta pada Tuhannya.
Karena selama seseorang belum bisa menundukkan (taslim) “asu” dalam dirinya sendiri ia tidak mungkin bisa “ber-islam” alias “tunduk” atas “pasrah” sesuai iradat-Nya (Islam). Sehingga, dengan cara itu, ia akan bisa menebar “salam” (kedamaian) bagi apapun dan siapapun.
Makanya beberapa wali tanah Jawi dulu terkenal sudah bisa mengeluarkan “asu” dalam dirinya keluar dari “tubuh” fisiknya dan lalu menjadikannya hewan itu sebagai peliharaannya (dikendalikan). Itulah yang disimbolkan dari asu peliharaannya Mbah Mutamakkin yang bernama “Abdul Kahar” dan “Kamaruddin”.
Juga asu yang dipelihara Sunan Panggung (Malang Sumirang)–ada yang menyebut Sunan Geseng–yang bernama “iman” dan “tokid”. Sebagaimana yang disebutkan diatas.
Selama hasrat kehewanan dalam diri kita belum “taslim”, bagaimana mungkin kita bisa utuh “berislam”? Apalagi menebar “salam” dengan simbolisasi sering mengajak orang lain “salaman” juga mengadakan “slametan”?