Usaha saya berlarat-larat untuk mengurai rangkaian skema historis dari sudut kritik historis pasca-kolonial, sebenarnya merupakan sebuah undangan atas penelitian kritis di kawasan lain terutama di wilayah berbahasa Melayu (dimana memang saya memiliki keterbatasan atas kajian di Luar Jawa, oleh karenanya saya meminta maaf), agar kita bisa melampui dan memberi alternatif baru atas penciptaan diskursus yang terbebas dari narasi “kuasa pengetahuan” kolonial (karena bagaimanapun dahulu penelitian-penelitian yang dikerjakan oleh sarjana kolonial terkait ke-Indonesiaan, kejawaan, dan ke-Islaman tersebut dalam konteks yang lebih khusus memang bagaimanapun menyisakan bias dalam bingkai pemilahan dan untuk langgengnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda).
Analisis maupun penelitian lanjutan terkait polarisasi yang ditimbulkan dari kebijakan di sepanjang kawasan Melayu, seperti bagaimana Kolonialisme melakukan politik becah-belah atas sistem nilai yang sebelumnya dianggap menyatu dan padu yang menyangga integrasi masyarakat layaknya terjadi di Jawa, seperti terkait pertanyaan bagaimana Kolonialisme membenturkan antara “Syarak” Vs “Adat”, “Teuku vs Tengku”, “Kalangan bangsawan vs Kalangan Adat”, “Sistem Peradilan Pidana kolonial vs pengadilan Serambi”, “Ki vs Kiai, dll akan sangat dibutuhkan dan diperlukan.
Hal ini sangat berguna bukan hanya semata untuk menjawab pertanyaan awal kenapa Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu, melainkan lebih dalam usaha menjawab kenapa warisan proses Islamisasi di Nusantara tersebut tersebar dan menyebar yang tidak lagi diakrabi dan berputus jalan ketersambungannya dengan “teks-teks pesantren” yang sering diburu itu.
Belum lagi jika kita melihat bagaimana polarisasi ciptaan kolonial itu berdinamika lebih lanjut membentuk berbagai sejarah turunan organisai Islam yang tersebar di Indonesia (Masyumi, Persis, Muhammadiyah, NU, Al Wasliyah, Sumatra Tawalib, Persatuan Tarbiyah, Nahdatul Wathon, DDII, dll) yakni menuruti kelanjutan proses sejarah kita berbangsa, yang darinya bisa mengenali kenapa wilayah kawasan kawasan Melayu atau bahkan organisasi Islam di Jawa sendiri yang tidak terlalu menerima sodoran “Islam Nusantara” yang memang senyatanya disodorkan oleh kelompok organisasi Islam tertentu.
Dan juga hadir dalam hiruk-pikuk pembelahan politik dalam konteks kesuksesan pemilihan presiden (meskipun jika para penyokongnya tidak merasa meniatkannya dalam dan untuk tujuan [diskursus] politik tertentu).
Juga kita bisa menangkap, bagaimana misalnya “Islam Nusantara” hadir dan (di)-muncul-(kan) dalam konteks merespon maraknya–meminjam bahasa Hasyim Muzadi–Islam “trans-nasional” (wahabi, HTI, salafi, dll) atas nama memunculkan atau (tepatnya) mempertahankan “Islam yang santun”, “Islam moderat”, “Islam yang rahmah dan ramah”, dan “Islam yang tidak marah”.
Karena kebutuhan ini pula Islam Nusantara hanya diambil dan ditekankan pada sisi “wasatiyyah”-nya (moderatisme), atau semata unsur “toleran”-nya yang dipersepsi oleh sekelompok organisasi lain merujuk hanya pada kelompok tertentu semata.
Tak aneh misalnya, jika Intelektual macam Muhammad al Fayyadl, sesuai tangkapan saya (semoga tidak salah), merasa bahwa moderatisme Islam hanya mengungkung wacana Islam semata bersikap “moderat” atau “ramah” yang bisa sangat rentan abai terhadap fakta penjajahan “kapital asing” dan abai terhadap visi-visi pembelaan terhadap kalangan mustadh’afin (tertindas secara struktural) dalam perkembangan kapitalisme tingkat lanjut.
Juga saya bisa memahami mengapa tokoh sekelas Ahmad Najib Burhani (Koran Sindo, 19 Januari 2017) yang merasa bahwa “Islam Nusantara” seolah hanya menunjuk pada kelompok organisasi tertentu (sebuah persepsi tangkapan dari kelompok luar penyokong) dan bahkan justru mengutip Mohamad Shohibuddin, seorang Khatib Am pengurus NU Belanda (Koran Sindo, 24 Januari 2017), bahwa Islam Nusantara justeru bisa ditutupi sekaligus tertutupi (keluasan spektrumnya) oleh para pengusungnya sendiri (mahjubun bin Nahdliyyin).
Bahkan dalam sebuah desertasinya Najib Burhani “Muhammadiyah Jawa” (2010), ia bahkan telah mendeteksi atau mendapatkan justifikasi bahwa pada dasarnya (tokoh-tokoh) Muhammadiyyah lebih tepat jika dikelompokkan sebagai “priyayi”. Rangkaian polarisasi ciptaan kolonial yang membelah itu akhirnya terus-menerus berlanjut dan mengkerangkai analisis para sarjana Muslim kita.
Mungkin ini juga yang melambari alasan yang mendasari bagaimana horisan atas diskursus “Islam Nusantara” setidaknya secara umum, selalu secara tak sengaja merujuk kepada semata “Islamnya pesantren” (setidaknya dipersepsi orang luar seperti itu) atau perujukan “teks-teks pesantren” sebagai sasaran paling dituju dari penciptaan diskursus “Islam Nusantara”.
Dan akhirnya kita abai atau lebih tepatnya belum mampu melampui pembacaaan narasi sejarah kolonial sebagai sebentuk usaha “kritik diri” untuk melampaui narasi penciptaan sejarah dan politik pengetahuan dan kebudayaan yang dulu membelah integrasi sosial kita sebagai sebuah bangsa.
Mungkin atas alasan ini pulalah, dari sejak tahun 2010-an, saya yang sebenarnya berlatar pesantren dan menghabiskan belajar dalam institusi tradisional dan kultur ini selama hampir separuh hidup saya itu, terpaksa beralih fokus kepada warisan kaya kesusateraan “suluk”, “serat”, “wirid” dan “Babad”, sembari menautkan dan mengilmui kembali warisan kitab kuning juga kitab beraksara “pegon” dan “jawi”, plus kembali mengakrabi dan membiasakan diri dengan menghadiri pagelaran wayang kulit, ikut meramaikan pementasan “tari Lambangsari”, “salawat Emprak”, mendengarkan ulang Ketoprak “ondo-rante” dan “seh Jangkung”, belajar kembali menembangakan macapat, mengumpulkan naskah-naskah serat, suluk, babad, wirid dari sejak saya lulus dari kuliah, dan secara pelan-pelan bisa mengakrabi huruf-huruf dan bahasanya, hingga menghadiri dan melibatkan diri dalam acara ruwahan, megengan, rasulan, mertibumi, sidekahan, mengikuti perayaan suro-an di Keraton, hingga mengikuti kesenian menonton garebeg keraton, kesenian rodad, jatilan, dan hadrah.
Jika kita semata berfokus semata pada pelacakan “teks-teks pesantren”, maka kita akan kehilangan “arsip kebudayaan” yang merupakan manisfestasi paling nyata dari “ijtihad kebudayaan”-nya para wali maupun tokoh penyebar Islam awal yang seterusnya dilanjutkan oleh raja-raja kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, dan kesultanan lain di Nusantara, sebelum badai penjajahan kolonial merusak warisan itu semua hingga terpecah-pecah dan berkeping-keping entah kemana.
Dari rangkaian pengelenaan ke jurusan lain ini, kesadaran saya benar-benar terentak-entak saat seorang pakar legendaris kesusateraan Jawa tanpa tanding bernama Zoetmulder itu dalam sebuah tulisannya yang jarang dibaca, “Wajang as Philosophical Themes”(1971) mengatakan, bahwa Wayang bukan saja ia selaras dengan nilai-nilai moral kebaikan Islam, melainkan Wayang Kulit Purwa itu (yang ceritanya telah digubah secara mendasar oleh para Sunan) hanyalah menyampaikan “kehidupan” ini hanya merupakan “bayangan” (wewayanganing agesang) yang memancar dari alam kegaibaiban ilahi dari 3 martabat keesaan tuhan dalam konsep martabat tujuh: Ahadiyyah, wahdah, dan wahidiyyah.
Atau bahwa dalam 12 jilid karya Centhini (1975) ternyata Seh Amongraga adalah seorang “santri lelana” yang menyesap kitab-kitab tradisi pesantren yang sebagian masih kita kenali, dan bahkan juga seorang penganut ajaran Syattariyyah-Naqsabandiyyah. Atau dalam Wirid Hidayat Jatinya (Wirid Ma’lumat Jati, Sadu-Budi, 1985) Ranggawarsita–seorang santri lulusan pesantren Gebang Tinatar Tegalsarinya Mbah Kiai Kasan Besari itu–adalah usaha eksplisit untuk menggabungkan 8 aliran “keilmuan ruhani” atau “ajaran tarikat” seperti diajarkan 8 wali tanah Jawa sebelumnya, yang ia rangkai dalam skema “martabat tujuh” dengan nama “hidayat jati”, dimana tokoh santri-pujangga ini oleh Nancy K. Florida dikatakan tercatat dalam naskah-naskah serat juga merupakan seorang mursyid Syattariyyah.
Atau kita juga akan tersentak, bahwa dalam ngilmu kasampurnan, yang dijadikan rujukan paling utama keilmuan yang menyurut dan dilabeli sebagai Kejawen itu, seperti dinukil oleh Kitab Primbon Attasadur Ma’na (2009) hanyalah merupakan nama lain dari ilmu ma’rifat dalam tasawuf (Ngilmu Kasampurnan menika namung tetuladan saking ilmu tesawuf), atau bahkan “martabat Tujuh” itu telah berkembang dalam karyanya pujangga “Ranggasasmita (pamannya Ranggawarsita), seperti dikatakan dalam karyanya “Suluk Martabat Sanga”, telah berkembang dalam bentuk “martabat sembilan”.
Atau, Sultan Hamengku-Buwana, Sultan Yogyakarta pertama itu telah menerjemahkan konsep tauhid wujud “sangkan paraning dumadi” dalam tata pemerintahan dan rancang-planologi kota seperti tercermin dalam konsep “garis imajiner” yang membelah kota Yogyakarta dari tata-awal perjalanan hidup (suluk) dari panggung krapyak (kelahiran), siti hinggil, hingga tugu golong-gilig (sebagai simbol tegaknya alif kedirian) agar bisa menjadi Khalifatullah (wakil tuhan) dan bisa bertanggung jawab menjadi simpul pemimpin agama (sayyidin panatagama), setelah sebelumnya berperang (senapati ing ngalaga) untuk menaklukkan empat nafsu (sedulur-papat) dalam dirinya hingga mencapai dan mencipta kedaulatan alif dalam dirinya (jumenengan, pancer).
Atau juga untuk memberi contoh terakhir, bagaimana dalam “Sastra Gending” (Radya Agung, 2008) maha-karyanya Sultan Agung itu (seorang yang disebut Centhini sebagai “wali-umran” atau “raja-wali”), Konsep tauhid wujud “martabat tujuh” itu telah berhasil ditubuhkan dan menjadi perincian yang menguatkan prinsip tauhid dalam skema Indah teoritik tembang sebagai pandu bagi para niyaga (penabuh gamelan) dan manusia Jawa yang akan menyempurnakan “estetika-ma’rifat”-nya dalam laku olah karawitan dan laku perbuatan kita secara menyeluruh sebagai kelanjutan dari “sembah meluhurkan asma dzat” (amemuji asmane Dzat).
Rangkaian contoh temuan pengelanaan di jalur pelacakan sebut saja “arsip kebudayaan” ini sungguh bukan hanya semata untuk kritik diri, atau alih-alih semata-mata menjawab pertanyaan awal di tulisan ini (biarlah menjadi tugas tulisan lain yang lebih menyeluruh terkait wilayah kajian Melayu), melainkan juga sebentuk undangan untuk menyodorkan tawaran pembacaan yang lebih menyeluruh (atau katakanlah lebih luas) dalam rangka meneropong bangun “Islam Nusantara” yang relatif bisa menjangkau kelompok yang lebih luas, baik dari sisi sentimen politis maupun dari sisi kerangka wilayah kajian dan paradigamanya yang telah meluas dan diluaskan.
Mungkin, kita, para santri ini, perlu menengok atau mempertimbangan cara-pandang yang disodorkan oleh Muhammad Jadul Maula dalam karyannya “Islam Berkebudayaan” (Pustaka Kaliopak, 2019), dimana ia lebih memilih melihat dan meneropong warisan kebudayaan Islam yang ditinggalkan para wali dan dai-sufi kita itu dalam bingkai “berkebudayaan” dimana Islam di zaman lama telah relatif membantu proses berkebudayaan, alias proses berkemanusiaan sebuah bangsa–olah proses cipta karsa rasa fakultas kemanusiaan kita–yang warisan “ijtihad kebudayaan” itu telah diresapi sebagai ke-arif-an budaya (baca: urf, ma’rifat, bukan semata syaria’t) yang tidak hanya bisa dinikmati oleh Muslim saja melainkan telah menjadi “rahmat”, hikmat”, dan “kebijaksanaan” bagi manusia Jawa dan kerakyatan Indonesia secara menyeluruh.
Dan apapun proses penerjemahan Islam yang tak membantu alias menjadi pengganggu tumbuhnya keutuhan potensi ruhani seorang manusia (baca: Insan Kamil)–yang faktanya memang terlahir secara lokal, namun berkualitas universal dalam dimensi (ruhani) kemanusiaannya–harus ditampik dan dilawan (baik pengganggu struktural-sistemik maupun pandangan-ideologi dan nilai).
Saya kira, para santri ini, menurut saya, merupakan titik hubung yang paling siap dalam menjebatani warisan kebudayaan Islam Indonesia bersambung kembali dengan bangun utuh intregalitas masyarakat dengan seluruh elemen yang membentuk ke-Indonesia-an kita hari ini. Allahu a’lam.
Irfan Afifi
Cepokojajar, 25 Juli 2021
Nb: Minta maaf karena belum melengkapi referensi literature yang akan disusulkan berikutnya.