Namaku Pangky, tak perlu kusebut namaku yang sebenarnya, toh itu tak penting. Saat ini aku masih menempuh pendidikan S1 Hukum Perdata Islam di salah satu perguruan tinggi islam negeri di Semarang. Oh iya, aku baru semester tiga, masih tergolong mahasiswa labil katanya, dikit-dikit pulang, dikit-dikit rindu. Memang kebanyakan teman-temanku begitu, tapi tidak untuk aku.
Untuk menambah pengalaman dan mengisi waktu luang, disamping kuliah dan berorganisasi—walau tak begitu aktif—, aku bekerja sampingan di sebuah toko roti di sini, lumayan buat tambahan uang jajan. Itung-itung buat jajan buku juga, walau kebanyakan malah buat jajan cilok. He-he.
Memang dari bekerja tadi aku bisa sedikit meringankan beban orang tuaku, tapi perlu diingat juga, karena bekerja inilah aku jadi jarang pulang, bahkan sekedar berkunjung ke rumah pun jarang. Itu karena jatah libur yang begitu minim perbulannya, tiga kali tepatnya.
Walaupun hanya sebagai aktifis amatiran, aku lumayan sering mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi yang mengharuskan menginap, bermalam di suatu tempat dengan banyak agenda hingga berhari-hari. Ya, ini sudah sangat menguras jatah libur kerjaku, bahkan tak jarang aku melampaui batas libur itu. Dengan dalih untuk kegiatan organisasi, ketika aku meminta izin libur, bosku tak berpikir lama untuk bilang, “oke.” Yes! itu memang yang kuharapkan. Tapi hal ini yang membikin aku tak bisa pulang ke kampung halaman, jatah libur sudah habis, dan tak ada pilihan lain selain menunggu jatah libur bulan depan.
Waktu tetap berjalan sebagaimana mestinya, hari demi hari rutin ditutup oleh indahnya remang senja yang jingga memanja. Memang indah senja itu, tidak seperti apa yang sedang aku rasakan. Rindu, ya, aku rindu, dengan keluarga, bapak, ibu, kakek, nenek, dan kampung halaman pastinya. Dan lagi, teman dekatku, Rara.
Hasratku untuk pergi ke kampung halaman sudah sangat menggebu-gebu, hingga setiap malam ketika hendak tidur, aku selalu membayangkan dan membayangkan, rumahku, ranjangku, masakan ibu, candaan bapakku, alam sekitar rumahku dan semua-mua tentang tanah kelahiranku. “Ya Tuhan, kapan Kaurebahkan diri ini di rumahku sana? Kau tahu? Aku rindu sayur bayam masakan ibu, nasi jagung, sambal terasi, ikan asin, dan segala masakan ibuku.” Gila, ini rindu sudah tak bisa dikompromi, aku harus pulang!.
***
Tepat sekali, besok hari minggu, aku harus pulang. Eh, bukan pulang, hanya berkunjung ke rumah. Besok akan kusiapkan segala sesuatu yang kuperlukan, bukan besok, tapi sekarang! ya, sekarang! Ah, tapi tak seharusnya membawa terlalu banyak barang, toh sekadar berkunjung.
Malam itu benar-benar aku tak kunjung tidur, kuperhatikan jarum jam masih berputar seperti biasanya dan menunjukkan pukul dua dini hari. “Sial, kenapa aku masih saja terjaga, besok aku harus bangun pukul empat pagi, ayolah diri, segera tidur!” suara hatiku geram mendapati aku tak segera tidur. Namun selang beberapa menit akhirnya aku tertidur juga, dan tepat, setengah tiga aku bangun.
Bukan main, aku begitu bersemangat pagi itu. Langsung aku pergi mandi dan berganti pakaian, menyiapkan dan memanaskan motor, minum air secukupku, lalu keluar kontrakan. Tiba-tiba, tabik datang dari temanku,
“Pang!” suara Dedi.
“Eh, Ded, sudah bangun?” jawabku disusul dengan meringis.
“Ya, aku pingin salat subuh berjemaah. Mau ke mana kamu?”
“Wah, tumben sekali, Ded.” Jawabku sambil menggodanya. “Aku mau ke rumah.”
“Ha? Sepagi ini? Kau mau pulang?”
“Ya, memang harus sepagi ini. Bukan, bukan pulang, hanya berkunjung. Nanti sore aku harus balik Semarang lagi, kau kan tahu jatah libur kerjaku sudah habis.”
“Gila!” sontak dedi terkaget, lalu meneruskan, “Demi apa kamu mau pulang, lalu balik ke sini lagi sore nanti? Ada urusan keluarga?”
“Kau tahu, Ded, aku memang sedikit gila. Tak ada urusan apa-apa selain mengadu rinduku pada tanah kelahiran dan semua yang di sana. Sudah ya, aku harus segera jalan biar sampai sana tak terlalu siang.” Sekejap aku langsung menarik gas motorku sambil diiringi teriakan Dedi, “Woy, hati-hati, salam buat bapak ibumu!
Karena masih sedikit mendengar, aku angkat tangan kiriku dan kuacungkan jempol sebagai isyarat aku memahaminya.
***
Pukul empat pagi aku memulai perjalanan itu, perjalanan yang menggairahkan, perjalanan yang menegangkan, penuh harap-harap, dan penuh rindu.
Sepagi itu, kususuri jalanan Semarang menuju arah Boja, Kendal. Masih sepi, sepi sekali, dingin juga. Hanya remang lampu motor dan lampu jalanan yang menerangiku.
Semarang terlewat, Boja terlewat, dan masuklah aku di jalan Singorojo, Kendal. Rumah-rumah masih sepi dibangun di sini, lampu pun minim.
“Ya Tuhan, apa-apaan ini?” alam yang gelap mulai mengagetkanku, benar-benar sebuah kejutan. Bayangkan saja, aku seorang diri, hanya diterangi lampu motor yang temaram—tidak, sama sekali ia tak menerangiku, ia tenggelam dalam kegelapan itu—diantara perkebunan warga, diantara pepohonan karet, sesekali juga hutan. Benar-benar sepi yang mencekam, dan jujur, aku ketakutan, apalagi ketika melewati jalanan dengan pohon-pohon besar disampingnya—yang kata orang, kebanyakan pohon besar ada penunggunya, memedi katanya—walau dengan hati ragu, antara ingin kembali dan lanjut, aku tetap harus melanjutkan perjalanan itu.
Kembali aku melewati perkebunan karet. Lagi-lagi aku dibuat kaget dengan satu cahaya kecil, dan sesosok yang menyerupai manusia. Pikirku mana mungkin sepagi ini, segelap ini, manusia pergi ke kebun, dan sudah lazim sangat perkebunan tak ada lampu, gelap, sangat gelap. Aku terus menjalankan sepeda motorku, semakin mendekat dengan sosok itu, jantungku berdetak semakin kencang, sungguh, berkeringat juga, panas, kemrungsung. Dan, plong! Ternyata itu manusia sungguhan. Aku lega, berbalut kagum, dan langsung pikiranku tertuju pada orang tuaku. Sepagi ini, dalam kegelapan, dingin pasti. Orang itu sudah mulai bekerja, dan sudahku pastikan, demi keluarga, istri dan anak-anaknya. Luar biasa, pikirku. Saat itu juga aku mengetahui bahwa para penyadap pohon karet harus menyadap pohon sepagi itu.
Dan gairah untuk segera sampai ke tujuan semakin menggebu saja. Oh iya, sudah setengah perjalanan rupanya.
Selang beberapa menit, aku keluar dari kegelapan yang penuh teka-teki itu, dan sampailah di kota tetangga, Temanggung. Tepatnya di kecamatan Bejen. Sejenak aku beristirahat di sebuah masjid untuk salat subuh, dan melanjutkan perjalanan lagi.
Kutempuh jalan raya Temanggung yang mengarah ke Parakan, tapi kemudian aku memilih jalan lain dan masuk ke jalan pedesaan, di sekitar Candiroto. Beruntung, karena jalan pedesaan ini sudah lumayan ramai rumah penduduk. Jalanan desa mengarah naik ke perbukitan, dan pukul lima pagi, tak kuduga, ternyata pemandangan matahari terbit dari jalanan perbukitan begitu indah. Dengan dikelilingi perbukitan, serta yang tergagah itu, gunung Sindoro, semakin saja menambah keindahan. Dan sejenak aku berhenti untuk menikmati sambutan matahari itu. Batinku, “Terimakasih matahari, sudah repot-repot muncul pagi hari hanya untuk memanjakan mataku.” Memang kalimat percaya diri yang berlebihan, padahal kan matahari muncul ya karena kewajibannya.
Setelah puas tersenyum pada matahari, aku kembali melanjutkan perjalanan. Kemudian stelah kurang lebih sepuluh menit, aku sampai. Ya, sampai di kota kelahiranku, Wonosobo. “Duh Gusti, senang sekali hati ini, bisa menghirup udara pagi di kota yang katanya asri ini.” Langsung aku disambut oleh hamparan teh serta baunya yang mewangi di perkebunan teh Tambi.
Udara dingin itu semakin menembus kulit, apa lagi aku tak mengenakan jaket, hanya kemeja flanel lengan panjang yang kutekuk hampir setengah lengan saja, dan tanpa sarung tangan—salah kostum batinku. Ya, mungkin karena tadi terlalu gugup. Tapi aku tetap saja meneruskan perjalanan, karena jarak menuju rumah semakin dekat. Dengan menahan dinginnya udara pegunungan—meski harus kutempuh perjalanan sambil menggigil dan sesekali mengadu gigi atas dengan gigi bawahku—akhirnya aku sampai di rumah.
***
Tadinya tak ada bangunan tinggi, tak ada juga panas karena polusi, setiap hari selalu saja ada kebahagiaan para petani. Namun hari itu aku melihat, kenapa ada hotel di dekat desaku? Kenapa ada mini market? Kenapa ada banyak penginapan? Yang tadinya lahan berubah menjadi tempat rebahan. Apa karena banyak yang bilang Wonosobo adalah kota dengan potensi wisata yang besar, lantas orang-orang pada membangun fasilitas-fasilitas pariwisata? Ah, apa benar karena wisata jadi rajin membangun? Tapi yang kuharap mereka tak melupakan potensi yang lebih besar di kota itu, yaitu sektor agraris. Kuharap petani-petani di sana nantinya bisa benar-benar diperhatikan oleh pemerinatah dan hidup bahagia sesuai porsi mereka masing-masing.
Aku telah sampai, masuk ke dalam rumah dan memberi sembah baktiku pada ibu dahulu karena ia yang membukakan pintu. Ku dengar kalimat kerinduan yang begitu dalam dari ibu, senang bercampur haru.
“Kau? Sudah begini gondrong anak ibu, Masya Allah, Nak. Kuat kau jauh dari bapak -ibumu selama ini?” sambut ibu dengan wajah cerah merekah sambil menepuk pundak kananku.
“Aku tak sekuat yang ibu kira, Bu, keadaan yang memaksaku kuat menahan rindu ini.”
“Ah nak, kau sudah pandai berkata.” Jawab ibu sambil mengelus kepalaku.
“Sudah, biarkan pangky masuk dulu, Bu!” Bapak menyeru agar aku masuk.
Aku masuk, kuberi sembah bakti pada bapak. Tangan itu, tangan pahlawan, tangan pejuang, tangan manusia yang manusia. Kuberi cium pada tangan itu, kasar, sangat kasar, seperti ampelas, bukan, bukan, seperti batu, kasar dan keras, adalah selimut dari hati yang lembut dan jiwa yang penuh tanggung jawab.
Ibu minum teh hangat, Bapak dan aku minum kopi. Harum, hangat, pahit, kecut tapi nikmat. Seperti yang sedang aku jalani hari-hari ini.
***
Setelah mencurahkan rinduku dengan keluargaku, aku teringat oleh seseorang. Ya, Rara. Dara cantik dan manis yang telah kukenal sejak lama. Eh, dia juga berkacamata. Pintar lagi. Rencananya akan kutemui dia sehabis zuhur sekalian berpamitan untuk kembali berangkat. Aku terlalu mengantuk karena hampir tidak tidur semalaman dan karena capek perjalanan jauh pula. Aku akan tidur dulu sampai nanti sebelum zuhur.
***
Rara begitu senang ketika aku datang ke rumahnya, sepertinya dia juga begitu merindukanku. Semenjak aku kuliah di luar kota kami memang sangat jarang bertemu. Tak seperti dulu ketika masih satu kota, hampir satu minggu sekali kami bertemu.
Aku heran, kenapa Rara begitu berbeda hari ini, dia lebih sering diam. Namun selalu tersenyum manis. Duh, Rara, kau begitu pandai mengolah rasa dalam raut muka. Kudekati ia, ia masih tersenyum-senyum. Aku berencana memegang tangannya, namun belum sempat aku pegang, “:Pangky! Pangky! Bangun, sudah pukul dua siang, katanya kau mau berangkat ke Semarang langsung hari ini?” suara ibuku sambil menggoncang tubuhku. Oh, sial! Aku tertidur sampai pukul dua siang! Gagal! Aku gagal bertemu dengan Rara yang manis itu.
Oh, Rara, niatku hanya aku yang berkunjung ke kampung halaman dan ke rumahmu, namu kau telah dahulu berkunjung dalam mimpiku. Betapa asyik dan menyebalkan cara Tuhan mempertemukan kita. Sampai jumpa di lain waktu.
oleh: Arifan
Semarang, 2019