Menu

Mode Gelap
 

Nyastra WIB ·

Cinta Tak Akan Hilang


					Cinta Tak Akan Hilang Perbesar

Senja itu. Maria, tanpa salam dan permisi, segera masuk ke kamar kosku, ia langsung menabrak dan memelukku secara tiba-tiba. Oh Maria, betapa yang kuharapkan akan terjadi. Kau, wanita manis dengan bibir tipis yang begitu klimis, saat ini sedang berada dalam pelukanku.

Sungguh saat kau sedang sedih begini kecantikanmu semakin bertambah. Bibir tipismu semakin menggodaku untuk mengulumnya. Ah, Maria. Kau begitu menggodaku. Melihatmu saja aku sudah cukup senang, apalagi kau peluk aku begini. Teruskan, Maria, teruskan pelukanmu itu, peluk aku dalam-dalam sampai kau lupa diri. Sungguh betapa senangnya aku.

Ya, walaupun kau malah dalam keadaan sedih seperti ini. Sebentar-sebentar, kau bersedih, Maria? Ya, kau bersedih. Siapa yang berani menyakitimu sampai kau begini sedih? Aku yakin, siapa yang menyakitimu tak lain adalah pacarmu itu, sepengetahuanku lelakimu itu memang berengsek.

Tapi kau tak pernah mendengarkan kata-kataku, kau telah dibutakan dengan cintamu yang disia-siakan itu. Akulepaskan pelukannya pelan-pelan, akutatap bola mata beningnya, dan kuusap air matanya, lalu,

“Kenapa kau tiba-tiba bersedih begini, Maria?” aku memulai.

“Marko, Rif, Marko telah menghianatiku.” Jawab Maria masih dengan sedu-sedannya.

“Sudah kuduga, pasti lelakimu itu yang menyakitimu. Dia apakan kau?”

“Dia selingkuhi aku.”

“Kurangajar! Berani sekali dia, dasar lelaki mata keranjang!”

“Sering sekali dia sakiti aku, Rif, tapi dia selalu minta maaf dan berjanji tak akan mengulangi, namun pada kenyataannya, dia menyakiti aku sebegini rupa. Yang ini aku tidak akan pernah memaafkannya. Dia tidur dengan wanita lain.”

“Bajingan! Kau harus selesaikan hubunganmu dengan dia, Mar!”

“Hubunganku dengannya sudah selesai sejak aku memergokinya dengan wanita itu di kamar kosnya.”

“Kau harus sabar, Maria, suatu saat nanti kau akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari mantan lelakimu itu.” Bahkan aku tak kurang siap jika sewaktu-waktu kau mau menerimaku menjadi pacarmu, lebih-lebih pendamping hidupmu.

Asal kau tahu, Maria, sejak awal kita berteman, sampai sekarang kita bersahabat, sungguh, aku merasakan perasaan yang mengatakan aku harus lebih dari seorang sahabat denganmu. Aku harus memilikimu bagaimana pun caranya, aku mencintaimu, Maria.

“Ah, sudahlah, Rif, aku sudah tidak mengharap apapun dari Marko, sama sekali aku tak berharap ia minta maaf padaku juga. Hanya satu harapanku, dia, Marko, enyah dari kehidupan hati dan pikiranku!”

“Baiklah, kalau begitu, kau duduk dulu, kuambilkan air putih biar kau lebih tenang.”

“Aku sudah cukup tenang, tapi tak apa kalau kau mau ambilkan air putih untukku.”

Maria duduk, dan aku ambilkan air putih untuknya. Satu gelas air putih ia minum begitu cepatnya.

“Kurang?” tanyaku.

“Tidak, Rif, Sudah cukup.”

“Benar sudah cukup?”

“Iya, Rif, aku mau pulang saja, waktu sudah petang. Oh, iya, terimakasih atas bantuanmu, sudah mau mendengarkanku tadi.”

“Ah, kau ini, pada siapa lagi kau berbagi rasa dan rahasia kalau bukan denganku, sahabatmu ini.” Ya, Maria, sahabat di mulut, dan aku adalah kekasihmu dalam hatiku, tak peduli dalam hatimu aku kekasihmu atau bukan.

Maria pulang.

***

Keesokan harinya, Maria meneleponku pagi-pagi sekali. Ia memintaku untuk menemaninya pergi jalan-jalan, dia bilang lukanya masih belum sembuh total, dia pikir pergi jalan-jalan adalah satu cara untuk menghilangkan sedikit luka yang tersisa itu, dia juga bilang hanya aku yang bisa ia ajak. Saat kutanya hendak ke mana, ia menjawab : Dieng. Ya Tuhan, ke luar kota. Sebenarnya aku punya alasan untuk menolak ajakannya, dari tugas kuliah yang menumpuk sampai alasan keuangan di akhir bulan.

Namun tak bisa aku tolak ajakannya itu, entah mengapa, ketika Maria yang mengajakku, aku selalu mau dan selalu mengesampingkan hal-hal lain. Sungguh, kau memang kekasihku dalam hatiku, Maria. Kau selalu aku dahulukan dari urusan-urusanku. Entah aku yang kurang normal atau memang aku sudah mulai gila.

Tapi asal kau tahu saja, Maria, aku tak merencanakan untuk mencintaimu, sama sekali aku tak merencanakannya, dan asal kau tahu juga, tak pernah aku ingat rasa ini kapan datang padaku. Ah, Maria, kenapa harus dirimu?

Dari perbincangan kami di telepon, lahir kesepakaatan bahwa kami akan berangkat dari Semarang pukul tujuh pagi. Tentang tempat wisata yang akan kami kunjungi kami tak merencanakan dulu, “Yang penting berangkat dulu, urusan objek wisata apa yang mau kita kunjungi, itu urusan belakang.” Begitu katanya.

Sekitar pukul tujuh—entah lebih entah kurang, aku tak sempat melihat jam lagi—, aku tiba di rumah Maria. Berhubung dia sudah siap, kami langsung tancap gas menuju Wonosobo. Kami memilih jalan alternatif melewati Boja kabupaten Kendal, lalu Singorojo, melewati perkebunan dan hutan-hutan yang nantinya akan tembus di jalanan kecamatan Bejen, Temanggung.

Dari situ kami masih melewati jalanan kota, setelahnya mengambil alternatif lagi lewat Candiroto di jalanan desa, naik terus melewati perbukitan dan tepat di bawah lereng gunung Sindoro. Di sana kami beristirahat sejenak sembari berfoto-foto dengan view yang begitu bagus. Yang begitu tak mungkin bisa aku saksikan di kota-kota sana.

Kami melanjutkan perjalanan. Kembali kami disambut dengan pemandangan indah, yaitu hamparan perkebunan teh Tambi yang begitu harum dan juga menyegarkan. Setelah beberapa lama, akhirnya kami sampai di jalan Dieng. Singkat cerita, kami sudah sampai di Dieng.

Betapa dingin daerah itu. Di dan Hyang, dua kata itu adalah asal-muasal nama Dieng, yang artinya tempat tinggal atau pegunungan para dewa. Terlepas dari benar atau tidaknya hal tersebut, namun aku percaya bahwa di Dieng, dahulunya memang terdapat kehidupan manusia dengan peradaban yang begitu luar biasa.

Bagaimana tidak, sebagai bukti, di sana kaudapat menjumpai peninggalan-peninggalan peradaban yang tak sedikit jumlahnya, mulai dari Candi, Goa, Artefak, dan masih banyak lagi peninggalan-peninggalan budaya pada zaman dahulu, baik yang berada di museum maupun yang tidak. Pesona alamnya juga tak kalah menakjubkan, mulai dari bukit Sikunir, gunung Prau, Batu Pandang, Telaga Warna, Telaga Pengilon, Telaga Cebong, hingga Kawah Sikidang yang kata orang adalah bekas letusan gunung purbakala.

Oh iya, kau juga akan melihat bocah-bocah gimbal, menurut mitos, bocah-bocah gimbal itu adalah titisan para dewa. Begitulah sedikit yang kuketahui tentang Dieng dari hasil pertanyaan-pertanyaanku kepada orang sana.

Hanya di Dieng saja kau akan menemui yang seperti ini, tak ada di tempat lain. Namun sayang, beberapa kali kami terkena pungutan sebelum kami sampai di objek wisata, entah siapa yang mengelola pungutan itu kami tak tahu pasti. Tapi tak apalah, yang penting aku bisa menemani Maria pergi ke sana untuk mengusaikan sakit hatiya itu.

Karena sore harinya kami harus langsung kembali ke Semarang, tak banyak objek wisata yang bisa kami kunjungi. Kami hanya berkunjung ke kawasan Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan Batu Pandang. Meski demikian, Maria terlihat begitu senang dengan jalan-jalan ini. Kurasa sebentar lagi dia benar-benar akan melupakan mantan lelakinya yang bajingan itu.

Oh, Maria, hanya dalam waktu satu hari saja kita sudah bisa sebahagia ini, mungkinkah Tuhan bisa menyatukan kita dalam kebahagiaan yang akan berlangsung lebih lama? Seminggu, sebulan, setahun, berpuluh tahun, dan selamanya? Ah, kukira rahasia hidup manusia bukan manusia itu sendiri yang mengetahuinya.

Sekitar pukul empat sore, kami putuskan untuk kembali ke Semarang.

***

Malam hari, sehabis isya, kami sampai di kosanku. Badan ini begitu capek setelah perjalanan yang cukup jauh. Maria pun mengeluh capek dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Sementara itu, aku duduk di kursi belajarku sambil menghisap rokok dan minum kopi yang kuseduh beberapa waktu lalu.

Kupandangi Maria saat ia tertidur pulas, wajah manisya tak hilang meski dalam keadaan tak sadar. Bibir tipisnya tetap saja menggodaku. Tubuhnya yang sempurna itu, membuat berahiku semakin naik. Ingin rasanya aku mendekatinya, membelai ubun-ubunnya perlahan, minyingkirkan rambut yang menutupi bibirnya, lalu mengecup bibir itu dan setelah itu akan dengan sendirinya aku melanjutkan kegiatanku. Maria, kau begitu menggodaku. Ah, Maria, Maria yang aku cinta. Imanku terlalu tipis untuk hal beginian. Ah, Maria.

Aku mendekati Maria, benar saja, aku membelai ubun-ubunnya, aku singkirkan rambut yang menutupi bibirnya, dan yang selalu aku inginkan, mengecup dan mengulum bibirnya. Tiba-tiba Maria terbangun, tergelagap, kaget, heran, dan seolah merasa jijik denganku, lalu ia berkata,

“Rifa, kau gila!” teriaknya masih dengan wajah yang tegang dan serba keheranan. “Kau.” Lalu ia terdiam seribu kata.

“Maafkan aku, Maria, maafkan. Aku tak mampu menahannya, entah karena nafsuku entah karena cintaku padamu yang suci ini. Maafkan aku, Maria, sungguh, maafkan.”

“Rifa, kau gila!”

“Tidak, aku tidak gila, aku sungguh-sungguh mencintaimu, Maria. Benar-benar dari hatiku yang terdalam.”

“Rifa, kau gila! Bagaimana bisa begitu? Kau wanita, aku wanita. Ah, Rifa, kenapa? Kau gila, sungguh, kau gila!”

“Tidak, Maria, aku tidak gila. Aku benar-benar menginginkanmu sebagai pendamping hidupku.”

“Rifa, kau sungguh sudah gila. Itu tak akan pernah terjadi meskipun di dunia ini hanya ada aku dan kau.”

“Terserah kau mau menganggap aku gila atau abnormal, aku tak peduli, aku mencintaimu. Kalaupun kau tak mau menjadi pendamping hidupku, kumohon kau mau bercinta denganku semalam ini saja.”

“Itu tak mungkin, Rifa, dengan lelaki saja aku belum tentu sudi, apalagi denganmu, dengan sesama wanita!”

“Peduli apa aku seorang wanita, kutekankan sekali lagi, aku mencintaimu, Maria. Semalam ini saja, kumohon, bercintalah denganku.”

“Kutekankan sekali lagi juga, aku tak sudi!” kata-kata itu adalah kata terakhir yang kudengar dari mulutnya, karena saat itu juga ia langsung pergi meninggalkanku dan keluar dengan membanting pintu kamar kosku.

Oh, Maria, ini pertama kali aku menyakiti dan merasa tersakiti oleh seorang yang benar-benar aku cintai. Semoga suatu saat nanti kau bisa menemukan seorang yang benar-benar kau cinta dan mencintaimu lebih dari aku mencintaimu saat ini. Sampai akhir hayatku nanti, tak akan kuhilangkan rasa ini dari hatiku. Kau akan selalu menjadi kekasihku dalam hatiku, dan bukan dalam hatimu.

 

Semarang, 22 September 2019.

Cerpen oleh : Arifan*

*Mahasiswa asal Wonosobo yang sedang berproses di UIN Walisongo Semarang, dapat juga di temui di Instagramnya: @Vanarifan.  

Artikel ini telah dibaca 21 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Perpisahan di tepi Penantian

29 Agustus 2020 - 20:57 WIB

Li Khomsatun, kidung pusoko limo

23 Maret 2020 - 02:08 WIB

Nasi Goreng Karetnya Dua

2 Januari 2020 - 00:13 WIB

Segitiga yang Berbeda

12 November 2019 - 16:03 WIB

Sesuatu Di Belakang Si Gembul

15 September 2019 - 03:59 WIB

Hanya Berkunjung

8 September 2019 - 22:10 WIB

Trending di Nyastra