Di makam-makam, ada banyak nisan berjenis kelamin perempuan yang tertatah dan terpahat dengan goresan cantik-molek, indah, dan tentu saja penuh makna. Seringkali justru jumlah mereka lebih banyak dari nisan berjenis kelamin lelaki yang polos, tidak tergurat apa-apa, dan “miskin” goresan. Di antara nisan-nisan perempuan itu ada lambang dengan makna keulamaan hingga makna ke-patok (quthb)-an.
Dari sini saja sangat mungkin membicarakan dunia perempuan dengan kacamata atau epistemologi kita sendiri. Bukan epistemologi walanda yang penuh dengan teori-teori mendakik namun ahistoris di tanah ini. Maksudnya, teorinya canggih, tapi dunia tempat teori itu lahir adalah dunia di sana, bukan dunia di sini.
Membaca makam bila dengan menggunakan perangkat teori sosial, misalnya teori struktur sosial ala sosio-antropologi, memang memungkinkan. Cuma, tentu tidak dapat isi dan nalarnya. Tidak lantas ada makam yang paling tinggi dan besar, lalu dianalisis dan disimpulkan dengan teori sosiologi bahwa itu adalah makam kelas borjuis. Sementara makam di sekelilingnya adalah kelas proletar.
Tidak lantas makam perempuan berada “di bawah” makam laki-laki lalu dianalisis dengan teori gender bahwa perempuan diletakkan sebagai makhluk kelas dua. Tidak lantas pula makam perempuan lebih cantik dan penuh goresan lalu dikatakan bahwa telah ada kesetaraan gender di masa itu. Masuk, memang. Tapi, sebagaimana saya ungkap di atas, tidak dapat isinya.
Makam-makam itu ditata, dibentuk, dibangun, dan ditempatkan dengan melihat “maqom” atau ketetapan Gusti Allah untuk masing-masingnya. Mereka berada di sana sesuai maqomnya. Makam-makam itu hasil peradaban kewalen yang ditata oleh para wali dari masa ke masa.
Membaca hasil karya peradaban dari zaman kewalen tentu harus dengan nalar kewalen. Bukan nalarnya Emile Durkheim, Hassan Hanafi, Simone De Beauvoir, Fatima Mernissi atau bahkan Amina Wadud.
Photo sampul artikel ini adalah photo nisan perempuan. Semoga beliau, semua yang dimakamkan di sini, dan para pembuat kijing-nisannya diampuni oleh Allah, disyafaati oleh Kanjeng Rasulullah saw, dijauhkan dari fitnah kubur, dan dimasukkan ke dalam surga.
Linnabi walahumul fatihah..
Penulis buku Nisan Hanyakrakusuman (2021)