Etimologi kata kakawin sebagai blasteran dari kata Sanskerta kawi ‘penyair’ serta afiks Jawa Kuna ka-dan –n, yang secara keseluruhan kata tersebut berarti ‘kata seorang penyair’ atau ‘syair (puisi) karya penyair’ (Zoetmulder, 1983: 119), sehingga secara sederhana, kakawin dapat diartikan sebagai “wacana puisi yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuna”.
Contoh kakawin antara lain Rāmāyana, Bhāratayudha, Arjunawiwahā, Nāgarakrtagāma, Kuñjarakarna, Smaradahana, Sutasoma, Sumanasāntaka, Hariwangsa, dan Pārthayajña.
Kakawin mempunyai aturan metrum dan pembaitan. Aturan metrum tersebut berupa (1) jumlah suku kata tiap baris cenderung sama untuk baris-baris dalam satu bait, (2) bait-bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama, dan (3) pola guru laghu (bunyi vokal panjang dan bunyi vokal pendek dalam satu kata) berlaku untuk setiap baris dan bait.
Kakawin juga mempunyai pola metrum, dan pola metrum tersebut memiliki nama, misalnya kumāralalita, bramarawilambita, wangsastha, rucirā, malini, sikharini, kusumawilasita, kilayu anedheng, tebu sol, dan jagaddhita.
Tradisi kakawin setidaknya telah dimulai pada awal abad IX dengan Kakawin Ramayana yang berkembang pada periode Jawa Timur, yakni pada abad XI-XV, dan perlahan-lahan surut, tetapi dilanjutkan di Bali.
ASPEK BUNYI
Aspek bunyi yang sangat kuat dalam kakawin adalah guru laghu (bunyi vokal panjang dan vokal pendek dalam suku kata). Guru laghu tidak semata-mata timbul karena pembacaan, tetapi sudah muncul sejak diciptakannya wacana kakawin, dan karena bahasa Jawa kuna tidak mengenal vokal bersuara panjang dan vokal bersuara pendek, maka dibuatlah konvensi bahwa vokal-vokal tertentu dibaca panjang dan vokal-vokal yang lainnya dibaca pendek.
Suku kata yang dianggap bersuara panjang adalah (1) apabila mengandung vokal ā, î, e, û, ӧ, o, dan ai, dan (2) apabila mengandung satu vokal pendek yang diikuti lebih dari satu konsonan, sedangkan vokal a, i, u, dan ĕ serta hanya diikuti oleh satu konsonan, maka suku kata tersebut dibaca pendek.
Ketukan digunakan untuk mengukur panjang pendek suku kata dalam kakawin yang merupakan pengandaian yang mengiringi pembacaan kakawin. Jika satu ketukan, maka suku kata tersebut merupakan suku kata pendek, sedangkan jika tiga ketukan maka suku kata tersebut merupakan suku kata panjang.
Dalam tradisi bali, Sugriwa (1970: 7), menyebutkan bahwa satuan terkecil guru laghu berupa gana, yaitu konstruksi guru laghu yang terdiri adat tiga suku kata.
Guru laghu berfungsi estetik, karena berkaitan dengan metrum atauu pembaitan. Selain itu, guru laghu juga berfungsi sebagai sebagai pemarkah spasial, sehingga pola guru laghu menentukan metrum atau sebaliknya.
Metrun kakawin tidak mensyaratkan adanya rima akhir seperti dalam macapat dan kidung, sehingga vokal akhir gatra kakawin ‘sembarang’, bahkan dapat dibaca sebagai guru ataupun laghu tanpa harus mempertimbangkan konvensi vokal yang dibaca panjang atau pun pendek.
ASPEK SPASIAL
Satuan spasial kakawin terdiri atas gatra, pada, dan pupuh atau yang sering disebut dengan sarga.
Pada dasarnya wacana kakawin dapat berupa satu pada selesai, tetapi bukti yang ada tidak terdapat wacana kakawin yang terdiri atas satu pada, sehingga pada wacana kakawin yang ada terdiri atas masing-masing pupuh, dan masing-masing pupuh tersebut terdiri dari sejumlah pada dengan gatra-gatra.
Pemarkah gatra adalah wrtta dan chanda ‘jumlah suku kata dalam baris’. Ada berbagai macam chanda berikut jumlah suku katanya dalam gatra, yakni: ukta (1 suku kata dalam
satu gatra), atyukta (2 suku kata dalam satu gatra), madyama (3 suku kata dalam satu gatra), pratista (4 suku kata dalam satu gatra), supratista (5 suku kata dalam satu gatra), gāyatrî (6 suku kata dalam dalam satu gatra), usnih (7 suku kata dalam satu gatra), anustubh (8 suku kata dalam satu gatra), brhti (9 suku kata dalam satu gatra), pangkti (10 kata dalam satu gatra), tristapa (11 suku kata dalam satu gatra).
Jagati (12 suku kata dalam satu gatra), sakwari (13 suku kata dalam satu gatra), atijagati (14 suku kata dalam satu gatra), atisakwari (15 suku kata dalam satu gatra), asti (16 suku kata dalam satu gatra), atyasti (17 suku kata dalam satu gatra), dhrti (18 suku kata dalam satu gatra), atidhrti (19 sukukata dalam satu gatra), krti (20 suku kata dalam satu gatra), prakrti (21 suku kata dalam satu gatra), ākrti (22 suku kata dalam satu gatra), wikrti (23 suku kata dalam satu gatra), sangskrti (24 suku kata dalam satu gatra), abhikrti (25 suku kata dalam satu gatra), wyukrti (26 suku kata dalam satu gatra), dan chanda yang mempunyai lebih dari 26 suku kata disebut dhandha atau dhandhaka.
Perpaduan antara guru laghu dan pola guru laghu dalam satu gatra sangat menentukan pola metrum beserta namanya, karena perbedaan pola guru laghu dalam pola chanda berarti menunjukkan metrum yang berbeda.
Satu pada kakawin pada umumnya terdiri atas empat gatra dengan masing-masing gatra mengandung chanda dan wrtta yang sama, meskipun ada pula beberapa jenis metrum yang memiliki tiga gatra, bahkan dengan chanda dan wrtta masing-masing gatra berbeda.
Satuan-satuan spasial selain berfungsi estetis, juga berfungsi untuk membantu pemaknaan melalui aspek kebahasaan karena pada hakikatnya, wacana kakawin merupakan gejala bahasa.
Bersambung..
Sumber: Saputra, Karsono H. 2012. Puisi Jawa: Struktur dan Estetika. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.